#49 | MENGAPA MEREKA BISA BEGITU TEGAR?


Para pembaca yang budiman, kita telah paparkan demikian banyak ujian yang dihadapi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat beliau. Makian, pemboikotan, siksaan dan beragam gangguan yang mungkin kalau kita alami, sulit bagi kita untuk menghadapinya. Lantas apakah sebab para sahabat radhiallahu anhum bisa tegar di tengah musibah yang melanda bertubi-tubi?

Asy Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri berusaha mengungkap sebab-sebab ini. Kata beliau, di antara sebab-sebab ketegaran mereka adalah:


1. Keimanan kepada Allah

Faktor yang paling utama adalah keimanan kepada Allah ta’ala semata dan juga ma’rifatullah dengan sebenar-benarnya. Keimanan yang kokoh apabila telah merasuk ke dalam sanubari maka akan dapat mengangkat gunung dan tidak akan goyang.

Orang yang memiliki keimanan dan keyakinan seperti ini akan memandang kesulitan duniawi sebesar, sebanyak dan sekompleks apapun bagaikan lumut-lumut yang diapungkan oleh air bah. Air bah yang dihalangi oleh lumut-lumut tadi, apakah dia akan tertahan dari menghancurkan bendungan-bendungan yang kuat serta benteng-benteng yang kokoh? Orang yang kondisinya seperti ini, tidak mempedulikan rintangan apapun lagi karena manisnya iman telah mereka rasakan. Allah berfirman,

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأرْضِ 
“Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi”. (Ar Ra’d: 17)


2. Kepimpinan dan Keteladanan Rasulullah 

Kesempurnaan yang dianugerahkan kepada sosok Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah dianugerahkan kepada siapapun. Beliau menempati posisi puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan. Demikian pula dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua jalan-jalan kebaikan, maka tidak ada tandingan bagi beliau. Jangankan oleh para pencinta dan sahabat karib beliau, bahkan musuh-musuh beliau pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang pernah terlontarkan dari mulut beliau pastilah membuat mereka langsung meyakini kebenaran yang beliau bawa.

Adapun di mata para sahabat beliau, maka kedudukan Rasulullah di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa mereka. Oleh karena itulah, sebagai rasa cinta mereka mereka tidak gentar menghadapi ujian yang dihadapkan kepada mereka untuk membela agama serta kehormatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


3. Menyadari Besarnya Tanggung Jawab

Para sahabat menyadari secara penuh akan besarnya tanggung jawab yang dipikulkan kepada pundak mereka sebagai pengusung dakwah. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan dan dilepaskan begitu saja. Apabila mereka lari dari tanggung jawab ini, maka akibat buruknya jauh lebih besar dan berbahaya daripada rasa sakit yang mereka dapatkan dari penindasan tersebut. Hilangnya agama Allah dan jauhnya manusia darinya nanti tak sebanding dengan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.


4. Iman kepada Akhirat

Faktor ini pula merupakan sebab yang menguatkan tumbuhnya rasa tanggung jawab tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka akan dibangkitkan kelak menghadap Allah, Rabb penguasa semesta alam. Mereka sadar bahwa  amal mereka akan dihisab dengan begitu terperinci. Jadi, hanya ada dua pilihan; ke surga yang penuh dengan kesenangan atau ke neraka jahim yang penuh dengan azab yang abadi.

Oleh karena itu para sahabat pun menjalani kehidupan mereka di antara khouf dan roja’, rasa takut dan pengharapan. Mereka mengharapkan rahmat Rabb mereka dan takut akan siksa-Nya. Sebagaimana yang Allah firmankan,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”. (Al Mukminun: 60).
Mereka mengetahui bahwa dunia dengan kesengsaraan dan kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai sepasang sayap nyamuk bila dibandingkan dengan kehidupan di akhirat. Pengetahuan mereka yang kuat tentang hal inilah yang meringankan mereka di dalam menghadapi kepayahan, kesulitan dan kepahitan yang ada di dunia ini.


5. Turunnya Ayat-Ayat Al Quran yang Menguatkan Mereka

Di tengah-tengah kesulitan yang mereka alami, turunlah surat-surat dan ayat-ayat Allah yang memberikan hujjah dan bukti atas kebenaran risalah Islam dan prinsip-prinsipnya. Turunnya ayat-ayat ini menguatkan hati kaum Muslimin untuk bersabar dan pantang menyerah.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,

{الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al Ankabut: 1-3)


6. Berita-Berita Gembira tentang Kemenangan

Di tengah-tengah penindasan yang dialami kaum mu’minin, turunlah pula beberapa ayat yang secara terang-terangan memberitakan kabar gembira, berupa kemenangan kaum mu’minin. Allah ta’ala berfirman,

{وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ (171) إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنْصُورُونَ (172) وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ (173) فَتَوَلَّ عَنْهُمْ حَتَّى حِينٍ (174) وَأَبْصِرْهُمْ فَسَوْفَ يُبْصِرُونَ (175) أَفَبِعَذَابِنَا يَسْتَعْجِلُونَ (176) فَإِذَا نزلَ بِسَاحَتِهِمْ فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ (177) وَتَوَلَّ عَنْهُمْ حَتَّى حِينٍ (178) وَأَبْصِرْ فَسَوْفَ يُبْصِرُونَ (179) }
Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. Maka berpalinglah kamu (Muhammad) dari mereka sampai suatu ketika. Dan terangkanlah kepada mereka, (akibat kekafiran mereka) maka kelak mereka akan mengetahui (nya). Maka apakah mereka meminta supaya siksa Kami disegerakan? Maka apabila siksaan itu turun di halaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu. (As Shaffat: 171-179)

Allah juga berfirman tentang orang-orang yang terusir dari negeri mereka,

{وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلأجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (42) }
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Rabb mereka saja mereka bertawakal. (An Nahl: 41)
Allah juga mengabarkan tentang balasan bagi orang yang menentang para Rasul,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِرُسُلِهِمْ لَنُخْرِجَنَّكُمْ مِنْ أَرْضِنَا أَوْ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَا فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ (13) وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الأرْضَ مِنْ بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ (14)
Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, "Kami sungguh-sungguh akan mengusir kalian dari negeri kami atau kalian kembali kepada agama kami.” Maka Rabb mereka mewahyukan kepada mereka, "Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu, dan Kami pasti akan menempatkan kalian di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.” (Ibrahim: 13-14)

Inilah faktor-faktor yang menyebabkan para sahabat bisa bersabar di tengah besarnya musibah yang mereka dapatkan di dalam dakwah. Semoga kita semua bisa meneladani mereka semua. Amin.


Wallahu ta’ala a’lam.

**********

SUMBER:
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 79.


#48 | WAFATNYA KHADIJAH DAN PERNIKAHAN DENGAN SAUDAH


Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha pun meninggal dunia pula. Wafatnya beliau ini bertepatan dengan bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh dari kenabian.


Khadijah termasuk salah satu anugerah Allah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau telah mendampingi Rasulullah selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau di saat-saat kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, serta mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, rela menyerahkan diri dan hartanya kepada Rasulullah. [1]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang diri Khadijah, 


آمنت بي حين كفر بي الناس، وصدقتني حين كذبني الناس، وأشركتني في مالها حين حرمني الناس، ورزقني الله ولدها، وحرم ولد غيرها
"Dia beriman kepadaku ketika semua orang mengingkariku, membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya, dan Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku." (HR. Ahmad). 

Demikian juga keutamaan Khadijah disebutkan di dalam Shahih Al Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, 


أتى جبريل النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه خديجة، قد أتت، معها إناء فيه إدام أو طعام أو شراب، فإذا هي أتتك فاقرأ عليها السلام من ربها، وبشرها ببيت في الجنة من قصب لا صخب فيه ولا نصب
"Jibril mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan."[2]


MENIKAH DENGAN SAUDAH


Setelah wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menikah dengan Saudah bintu Zam’ah. Nama lengkap beliau Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdus Syams Al Quraisyiah Al Amiriyah.  


Awalnya Saudah menikah dengan Sakran bin Amr saudara laki-laki Suhail bin Amr Al Amiry, yang menanggung kebutuhan delapan orang Bani Amir (keluarga Sakran bin Amr) yang juga berhijrah, keluar dari kampung halaman mereka beserta harta bendanya. Mereka berhijrah ke negeri Habasyah, pergi menyeberangi lautan yang penuh dengan ketakutan dan kengerian, rela menghadapi kematian yang sangat keras dalam rangka menyelamatkan agama mereka. Mereka telah disiksa dan dipaksa agar kembali kepada kesesatan dan kesyirikan. Saudah binti Zam'ah belum selesai menghadapi ujian keterasingan di negeri Habasyah namun dia harus merelakan kehilangan sang suami yang berhijrah bersamanya. Kiní ia menjalani ujian sebagai seorang janda setelah menghadapi ujian keterasingan di negeri orang.[3] 


Perasaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tergugah dengan keadaan wanita yang berhijrah dan mu’minah ini. Oleh karena itu belum selesai Khaulah binti Hakim As-Sulamiyah menyebutkan Saudah kepada beliau (kecuali) beliau segera mengulurkan tangannya yang penyayang kepadanya untuk berdiri di sisinya dan meringankan beban kehidupan keras yang dia rasakan. Terlebih lagi sesungguhnya dia telah memasuki usia tua yang sangat membutuhkan seseorang untuk menjaga dan mendampinginya. 


Buku-buku sirah meriwayatkan bahwa tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berani membicarakan pernikahan di hadapan Rasulullah setelah wafatnya Ummul Mukminin Khadijah, yang telah beriman kepada beliau di saat manusia mengkufurinya, yang membantu dengan hartanya di saat manusia enggan menolongnya dan Allah mengkaruniakan anak keturunan kepada beliau melaluinya. [4] Ibid.


Akan tetapi tidak berselang terlalu lama masa kesedihan, datanglah Khaulah binti Hakim kepada Rasulullah dengan penuh keramahan dan kelembutan. Ia mengatakan, "Tidakkah engkau mempunyai keinginan untuk menikah lagi, ya Rasulullah?" Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab, "Wahai Khaulah, siapakah gerangan orangnya setelah Khadijah?" 


Khaulah berkata, "Engkau ingin gadis atau janda?" 

Beliau berkata, "Siapa dari kalangan gadis?" 

Dia berkata, "Anak perempuan dari makhluk Allah yang paling engkau cintai, yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar." 

Setelah diam beberapa saat, beliau berkata, "Siapa dari kalangan janda?" 

Khaulah berkata, "Dia adalah Saudah binti Zam'ah yang telah beriman kepada engkau dan mengikuti apa-apa yang telah diturunkan kepada engkau." 

Nabi shallallahu alaihi wasallam pun kemudian menikahi Saudah. [5]


Orang-orang merasa heran dengan pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam'ah. Mereka saling bertanya dengan diiringi keraguan, "Janda tua yang tidak rupawan menggantikan seorang sayyidah Quraisy yang selalu menjadi perhatian pandangan mata para pemimpin Quraisy." 

Kenyataan yang ada menyatakan, bahwa Saudah dan yang lainnya tidak akan bisa menggantikan posisi Khadijah di mata Nabi. Tetapi hal itu merupakan kebaikan, kasih sayang dan hiburan dari seorang Nabi yang penyayang. Saudah mampu menegakkan kewajiban di rumah kenabian Dia melayani anak-anak perempuan Nabi, menyenangkan serta menggembirakan hati Nabi dengan jiwa yang ringan dan penuh dengan kegembiraan.

Setelah tiga tahun atau lebih berumah tangga dengan beliau, Aisyah datang ke rumah kenabian. Kemudian menyusullah isteri-isteri yang lain juga berdatangan ke rumah tersebut, seperti Hafshah, Zainab, Ummu Salamah dan lain-lainnya.[6] 

Saudah mengetahui bahwa Nabi tidak menikahinya kecuali karena kasih sayang beliau terhadapnya setelah kematian suaminya. Yang demikian itu menjadi jelas baginya tatkala Nabi hendak menceraikannya dengan cara yang baik. Tetapi beliau merasakan bahwa hal ini akan melukai hatinya. Tatkala beliau mengabarkan tentang keinginan untuk men-talak-nya, dia merasa ada tekanan yang menghimpit dadanya. Sehingga dia membisikkan permohonan yang sangat dengan merendahkan diri, "Tahanlah saya wahai Rasulullah, demi Allah, saya tidak memiliki keinginan untuk menikah (lagi), kecuali saya berharap agar Allah membangkitkan saya di hari kiamat sebagai isterimu."  

Seperti inilah dia mengutamakan keridhaan suami yang mulia. Sehingga Saudah pun memberikan waktu gilirannya kepada Aisyah dalam rangka menjaga hati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dia mengabaikan dirinya sendiri. 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memenuhi keinginan wanita yang memiliki perasaan mulia ini. Dalam permasalahan ini Allah menurunkan firmanNya yang berbunyi,


فَلا جُناحَ عَلَيْهِما أَنْ يُصْلِحا بَيْنَهُما صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An Nisa: 128) 
Tinggallah Saudah di rumah kenabian dengan penuh keridhaan, tenang dan bersyukur kepada Allah yang telah mengilhamkan jalan keluar yang tepat supaya dia tetap bersama makhluk Allah yang terbaik di dunia (dan) sebagai ibu kaum mu’minin serta menjadi isterinya di surga. Saudah pun akhirnya wafat di akhir masa pemerintahan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. [7].



**********

CATATAN KAKI:
[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 135
[2] Ibid.
[3] Mahmud Mahdi Al Istanbuli et al., Nisa’ haula Ar Rasul (Damaskus, Dar Ibnu Katsir, 2008), hlm. 49 
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm 50.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 51



#47 I WAFATNYA ABU THALIB & PELAJARAN DI BALIKNYA (Bag Ke-2)


Para pembaca yang budiman, para artikel yang terakhir telah kita paparkan bagaimana kisah akhir hayat Abu Thalib dan beberapa hikmah yang berkaitan dengannya. Di antara hikmah penting lainnya dari kisah tersebut:


HIDAYAT TAUFIQ BERADA DI TANGAN ALLAH 

Sesungguhnya hidayah taufiq itu berada di tangan Allah Ta'ala, bukan di tangan manusia. Sehingga setiap muslim hanya berkewajiban untuk berdakwah, menyampaikan kebenaran. Ini yang disebut sebagai hidayah dilalah wal irsyad (mengarahkan dan membimbing), sebagaimana firman Allah,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ 
“Dan sungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus.” (Asy Syuura: 52) 

Sedangkan taufiq agar orang itu mengikuti kebenaran yang disampaikan, maka ini kewenangannya hanya ada di tangan Allah. 

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al Qashash: 56) 

Hal ini merupakan hiburan bagi setiap da'i ketika ia terkadang melihat segala usaha dakwahnya terlihat sia-sia. Ketika ia mengingat usaha Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang tidak berhasil mengislamkan paman beliau Abu Thalib, dia akan menyadari bahwa keberhasilan dakwah itu sangat tergantung dengan hidayah taufiq dari Allah.


BETAPA DAHSYATNYA ADZAB NERAKA

Hikmah lainnya dari kisah ini adalah kita menjadi tahu demikian dahsyatnya adzab neraka. Abu Thalib mendapat adzab neraka yang paling ringan, tapi perhatikan adzab apa yang dia terima! Dia diadzab pada tempat yang dangkal di neraka sehingga sampai pada kedua mata kakinya, yang karena panasnya sehingga otaknya mendidih. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya adzab neraka yang lebih dari itu. 


ABU THALIB MATI DI ATAS KEKUFURAN

Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala, 

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al Qashash: 56) 

Al Imam An Nawawi mengatakan bahwa para ulama tafsir telah bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus kematian Abu Thalib.

Ayat lain yang berkaitan dengan matinya Abu Thalib dalam keadaan kufur,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang yang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penginuni neraka jahannam. (At- Taubah: 113) 


ALLAH MENERIMA TAUBAT SESEORANG SEBELUM SAKARATUL MAUT

Disebutkan dalam dua kitab hadits yang shahih bahwa ayat ini turun setelah Nabi mengatakan berkenaan dengan pamannya, Abu Thalib, "Demi Allah, sungguh aku akan memintakan ampunan buatmu selama aku tidak dilarang untuk itu." 

Ini menunjukkan sahnya taubat atau keislaman seseorang menjelang kematiannya. Karena kalau saja tidak sah taubat atau masuk Islamnya, maka pasti Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruh Abu Thalib untuk masuk Islam menjelang ajalnya tiba. 

Namun apabila dia bertaubat tepat ketika ajal itu tiba, maka taubatnya tidak akan Allah terima. Allah berfirman,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئاتِ حَتَّى إِذا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ
"Tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan sesungguhnya saya bertaubat sekarang." (An Nisa’: 18)

Dalil lain yang menunjukkan Abu Thalib meninggal di atas kekafiran adalah apa yang diucapkan Abu Thalib, bahwa dia tetap di atas agama Abdul Mutthalib.


WAJIBNYA MENUNAIKAN HAK KARIB KERABAT

Dalam kisah ini nampak jelas pemenuhan hak-hak yang terkait dengan karib kerabat. Betapa besar perhatian dan harapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar paman beliau Abu Thalib masuk ke dalam islam. Hal itu disebabkan hubungan kekerabatan beliau dengannya, karena hak sanak kerabat jauh lebih besar daripada hak orang lain atas kita. Karenanya, Allah Ta'ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى 
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapa dan karib-kerabat.” (An Nisaa: 36) 
Dan Allah Ta'ala berfirman kepada Rasul-Nya, 

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ
Dan berilah peringatn kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (As Syua'ra: 214) 
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya memberikan perhatian yang lebih kepada sanak kerabatnya dengan mengajak, menasihati, dan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Sementara itu, kita sering menjumpai orang yang aktif berdakwah untuk Islam, tetapi ia banyak melupakan sanak kerabatnya sendiri. Hal ini hendaknya menjadi perhatian bagi setiap da'i di jalan Allah. 


BALAS BUDI ATAS KEBAIKAN SESEORANG

Sebuah sikap balas budi yang baik ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada pamannya, Abu Thalib, yang selama ini telah memberikan dukungan dan pembelaan kepada Rasulullah. 

Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa suatu ketika, Abbas bin Abdul Mutthalib radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai apa manfaat yang bisa beliau berikan kepada Abu Thalib sebagai bentuk balas budi beliau atas jasa-jasanya. 

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan kepada pamannya, Abbas, bahwa beliau tidak melupakan jasa-jasa Abu Thalib dengan memberikan syafaat yang sangat istimewa untuknya, sehingga ia hanya diletakkan pada neraka yang dangkal dan ia adalah ahli neraka yang paling ringan siksaannya. Seandainya bukan karena syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, niscaya Abu Thalib berada pada tingkatan paling bawah dalam neraka. 

Begitulah yang seharusnya dilakukan oleh orang muslim, hendaknya tidak segan-segan mengakui jasa baik orang- orang yang berjasa, serta berusaha membalas jasa mereka itu dengan sekuat tenaga. 


AMALAN MUSYRIK TIDAK BERMANFAAT

Satu poin penting yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin, bahwa sesungguhnya penyebab diringankannya siksaan neraka atas Abu Thalib, padahal ia mati dalam keadaan musyrik adalah syafa’at dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan karena amal shalih Abu Thalib sendiri. 

Dengan demikian tidak ada pertentangan di antara hadits pemberian syafaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Abu Thalib ini dengan prinsip kita tentang tidak ada gunanya amal kaum musyrikin. Karena peringanan siksa pada Abu Thalib ini merupakan kekhususan yang dimiliki Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sebagai bentuk pemuliaan dari Allah yang diberikan kepada beliau, dengan diterimanya syafaat beliau untuk pamannya, Abu Thalib, padahal ia mati dalam keadaan musyrik. 

Dalam hal ini, Allah memiliki hak penuh untuk memberikan keistimewaaan kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai penghulu para Nabi adalah orang yang paling berhak mendapatkan keistimewaan dan pemuliaan tersebut. 

Demikianlah beberapa hikmah dan pelajaran yang bisa kita gali dari peristiwa wafatnya Abu Thalib. Semoga bisa bermanfaat.


**********


RUJUKAN
Fiqih Sirah, Asy Syaikh Zaid Abdul Karim Zaid, hlm. 225-229

#46 I WAFATNYA ABU THALIB & PELAJARAN DI BALIKNYA



Di usainya yang semakin tua, sakit yang diderita oleh Abu Thalib semakin bertambah parah. Tampaknya waktu kematian akan segera tiba. Abu Thalib pun akhirnya meninggal pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam bulan setelah keluar dari pemboikotan. Sebagian ulaa berpendapat bahwa dia meninggal dunia pada bulan Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya istri Rasulullah, Khadijah radhiallahu ‘anha.

Di sebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari, dari Al-Musayyab radhiyallah ‘anhu



أن أبا طالب لما حضرته الوفاة دخل عليه النبي صلى الله عليه وسلم وعنده أبو جهل، فقال: أي عم، قل: لا إله إلا الله، كلمة أحاج لك بها عند الله، فقال أبو جهل وعبد الله بن أبي أمية: يا أبا طالب، ترغب عن ملة عبد المطلب؟ فلم يزالا يكلماه حتى قال آخر شيء كلمهم به: على ملة عبد المطلب. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لأستغفرن لك ما لم أنه عنك، فنزلت: ما كانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانُوا أُولِي قُرْبى مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحابُ الْجَحِيمِ [التوبة: 113] ونزلت إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ [القصص: 
Bahwa tatkala ajal hampir menghampiri Abu Thalib, Nabi alaihis shalatu wassalaam menemuinya. Di sisinya ada Abu Jahal. Beliau mengatakan,
"Wahai paman, ucapkanlah ‘La ilaha illallah’, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah untuk membelamu di sisi Allah!" 
Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah lalu mengatakan kepada Abu Thalib, 
"Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib ?" 
Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, "Tetap berada pada agama Abdul Muththalib."
Beliau bersabda, "Aku benar-benar akan memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang melakukannya."
Lalu turun firman Allah, 
ما كانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانُوا أُولِي قُرْبى مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحابُ الْجَحِيمِ 
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam." (At Taubah: 113).
Allah juga menurunkan ayat,
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ 
"Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi." (Al-Qashash: 56) [1]

Abu Thalib telah memberikan perlindungan dan pertolongan yang luar biasa kepada Rasulullah shallallahu aliahi wasallam. Namun sangat disayangkan, dia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama sekali tidak mendapat keberuntungan.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib, bahwa beliau mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
"Pamanmu telah banyak berjasa kepadamu. Dia teah memberikan perlindungan dan pembelaan kepada dirimu...”
Maka Rasulullah pun mengatakan, 

هو في ضحضاح من نار، ولولا أنا لكان في الدرك الأسفل من النا
"Dia berada di neraka yang dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang paling bawah..."
Demikian juga di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لعله تنفعه شفاعتي يوم القيامة، فيجعل في ضحضاح من النار تبلغ كعبيه
"Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat nanti, sehingga dia diletakkan di neraka yang dangkal, hanya sebatas tumitnya saja."[2]

Banyak pelajaran penting dari kisah Abu Thalib ini yang disebutkan oleh para ulama, di antaranya:


HIKMAH DI BALIK TETAP KUFURNYA ABU THALIB

Di antara faidah dari tetapnya Abu Thalib di dalam agama kaumnya hingga ajal menjemput, padahal ia telah banyak membantu dan membela Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam. Dengan tetapnya Abu Thalib mengikuti agama kaumnya itu merupakan hikmah besar dari Allah agar dia tetap bisa memberikan perlindungan dan pembelaan kepada Rasulullah. 

Karena seandainya Abu Thalib masuk Islam, pastilah ia tidak memiliki kewibawaan lagi di mata kaum musyrikin Quraisy. Mereka tidak akan mau mendengar ucapan dan tidak menghormati ucapannya lagi. Bahkan mereka akan berani menentangnya dan menyakitinya, baik dengan lisan maupun perbuatan mereka. Tentu dengan tetapnya Abu Thalib di atas agama nenek moyangnya, padanya terdapat kemaslahatan yang sangat banyak bagi siapa pun yang mampu merenungkannya.[3]


BESARNYA PENGARUH TEMAN DEKAT BAGI SESEORANG

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah berusaha sekuat tenaga untuk membimbing pamannya agar mendapatkan hidayah Islam. Akan tetapi, pada detik-detik terakhir kehidupan Abu Thalib, ia didatangi oleh teman-temannya yang buruk, sehingga setiap kali dibimbing Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam agar ia mengucapkan Laa ilaha illallah, kawan-kawan buruknya itu mengingatkannya agar tetap mengikuti agama ayahnya, Abdul Mutthalib. 

Oleh karena itu, Abu Thalib pun tetap memegang teguh agama ayahnya dan meninggal dunia dalam keadaan musyrik karena ia menolak mengucapakan Laa ilaaha illallah. Sungguh ini kerugian yang tiada taranya, disebabkan oleh persahabatan dengan teman yang buruk, yang biasanya selalu menyesatkan dan menyebar kerusakan di tengah masyarakat, yang kadang sulit dideteksi pengaruh mereka, kecuali setelah terlambat.
Allah ta’ala berfirman,


وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (Al Furqan: 27-29) [4]



KEADAAN SESEORANG TERGANTUNG DARI AKHIR HIDUPNYA

Bahwa ketentuan baik dan buruknya seseorang ada pada akhir hayatnya. Sekiranya Abu Thalib kafir sepanjang hidupnya, namun dia mengakhiri hidupnya dengan masuk agama Tauhid, niscaya surga akan ia raih.
Kondisi ini mengingatkan kita pada pentingnya akhir dari setiap perbuatan, bahwa penilaian baik dan buruk ada padanya. Barangsiapa yang memahami dengan benar arti penting dari Husnul khatimah (akhir hayat yang baik), maka niscaya ia tidak akan melakukan suatu dosa karena khawatir kalau usianya akan ditutup dengan dosa tersebut.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan jangan sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan Islam." (Ali Imran: 102) [5]

BAHAYA MEMBEBEK KEPADA TRADISI NENEK MOYANG

Hal ini bisa kita lihat pada saat Abu Thalib diajak oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk masuk Islam, ia selalu menjawab bahwa ia tetap berpegang teguh pada tradisi nenek moyang sebagaimana dinyatakan oleh Allah di dalam firman-Nya,


بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ 
Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22).[6] 

(bersambung)

**********


CATATAN KAKI:
[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 134.
[2] Ibid.
[3] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 223.
[4] Ibid., hlm. 224
[5] Ibid., hlm. 225.
[6] Ibid., hlm. 225.


#45 | MEMBUJUK ABU THALIB


Paska berlalunya pemboikotan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin pun mulai melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Adapun Quraisy, maka mereka masih tetap melakukan intimidasi terhadap kaum muslimin dan menghadang dakwah di jalan Allah meskipun sudah tidak lagi melakukan pemboikotan.

Adapun Abu Thalib, maka dia masih tetap melindungi keponakannya, dalam keadaan usianya yang sudah melebihi delapan puluh tahun. Penderitaan-penderitaan serta peristiwa-peristiwa yang begitu besar dan silih berganti sejak beberapa tahun, khususnya pada saat terjadinya pemboikotan terhadap keluarganya, telah membuat persendiannya lemah.

Baru beberapa bulan paska pemboikotan tersebut, Abu Thalib dirundung sakit yang agak payah dan kondisi ini membuat kaum musyrikun cemas kalau-kalau nama besar mereka menjadi buruk di hadapan bangsa Arab jika mereka hanya datang saat kematiannya karena tidak menyukai keponakannya. Oleh karena itulah mereka sekali lagi mengadakan perundingan dengan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melalui Abu Thalib dan berani memberikan sebagian dari hal yang sebelumnya tidak sudi mereka berikan. Mereka pun kemudian melakukan kunjungan kepada Abu Thalib, untuk terakhir kalinya.

Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa pada saat orang-orang Quraisy mendengar sakit Abu Thalib, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain,

"Sesungguhnya Hamzah dan Umar telah masuk Islam dan Islam telah menyebar luas di kabilah-kabilah Quraisy secara keseluruhan. Oleh karenanya, mari kita jenguk Abu Thalib dan menasihatinya agar menghentikan dakwah keponakannya. Demi Allah, kita tidak akan pernah merasa hidup nyaman kalau dia menguasai masalah kita."

Orang-orang Quraisy itu lalu datang kepada Abu Thalib dan merayunya. Di antara barisan mereka ada Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf dan Abu Sufyan dari gembong-gembong Quraisy.

Mereka berkata kepada Abu Thalib,

"Wahai Abu Thalib, seperti yang telah engkau ketahui sesungguhnya engkau bagian dari kami dan kami khawatir atas kondisimu. Sungguh engkau telah menyaksikan sendiri pertentangan antara kami dengan keponakanmu. Oleh karena itu, panggillah dia menghadapmu, tanyakan kepadanya apa yang sebenarnya dia inginkan. Apa yang dia inginkan, maka kami akan mengabulkannya dan setelah itu kami sebutkan keinginan kami yang harus dia penuhi agar dengan cara itu, ia menahan diri dari kami dan kamipun menahan diri dari dia, dia membiarkan kami pada agama kami dan kami biarkan dia berada pada agamanya.” Demikianlah ucapan para gembong Quraisy ini kepada Abu Thalib.

Maka segera Abu Thalib pun menyuruh seseorang untuk memanggil Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam. Rasulullah pun kemudian datang menemui Abu Thalib. Abu Thalib berkata kepada Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam,

"Wahai keponakanku, orang-orang ini adalah pembesar kaummu. Mereka sepakat untuk memberikan sesuatu kepadamu dan sebagai gantinya mereka mendapatkan sesuatu pula darimu."

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada mereka,

أرأيتم إن أعطيتكم كلمة تكلمتم بها، ملكتم بها العرب، ودانت لكم بها العجم
Bagaimana pendapat kalian bila aku katakan kepada kalian satu kalimat yang bila kalian ucapkan niscaya kalian akan dapat menguasai bangsa Arab dan orang-orang ajam (non Arab) akan tunduk kepada kalian?”

Dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara kepada Abu Thalib,  

أريدهم على كلمة واحدة يقولونها، تدين لهم بها العرب، وتؤدي إليهم بها العجم الجزية
Aku menginginkan mereka untuk mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat bangsa Arab tunduk kepada mereka, bahkan orang-orang non Arab akan mempersembahkan jizyah (upeti) kepada mereka”.

Dalam lafazh riwayat yang lainnya lagi disebutkan bahwa beliau berkata,

يا عم، أفلا تدعوهم إلى ما هو خير لهم

Wahai pamanku! Kenapa tidak engkau ajak saja mereka kepada hal yang lebih baik buat mereka?”.
Dia bertanya, “Mengajak kepada apa?”.

أدعوهم إلى أن يتكلموا بكلمة تدين لهم بها العرب، ويملكون بها العجم
Ajaklah mereka agar mengucapkan satu kalimat yang dapat membuat bangsa Arab tunduk kepada dan orang-orang non Arab berada di bawah kekuasaan mereka”

Sedangkan dalam lafazh yang diriwayatkan Ibnu Ishaq beliau shallallahu alaihi wasallam menyebutkan,

كلمة واحدة تعطونها، تملكون بها العرب، وتدين لكم بها العجم،

Satu kalimat saja yang kalian berikan niscaya kalian akan bisa menguasai bangsa Arab dan orang-orang asing akan tunduk kepada kalian”.

Tokoh-tokoh Quraisy bersorak, kemudian mereka berkata,
"Wahai Muhammad, apakah engkau mau menjadikan sesembahan kami yang banyak itu menjadi satu saja? Sungguh, merupakan perkara yang sangat mengherankan."
Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain,
"Demi Allah, orang ini hanya mempermainkan kita. Pulanglah kalian dan berpegang teguhlah kalian kepada agama leluhur kalian, hingga Allah memutuskan perkara di antara kita dan dirinya."

Setelah itu, mereka keluar berpencar dari rumah Abu Thalib.

Allah subhanahu wata’ala kemudian menurunkan ayat berkenaan dengan itu. Allah azza wajalla berfirman,

ص وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ (1) بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ (2) كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ فَنَادَوْا وَلاتَ حِينَ مَنَاصٍ (3) وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ (4) أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (5) وَانْطَلَقَ الْمَلأ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ (6) مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الآخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلا اخْتِلاقٌ(7)
Shad, demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu berada di dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong, padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.

Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan yang banyak itu sebagai Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.”

Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka seraya mengatakan, "Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) sesembahan-sesembahan kalian, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan,. (Shad: 1-7).


Wallahu a’lam.


**********


REFERENSI:
  • Ar Rahiqul Makhtum, hlm. 132 
  • Al Misbah Al Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, tafsir surat Shad, ayat 1-7

#44 | PEMBOIKOTAN KEPADA BANI HASYIM


Kaum musyrikin selalu mencari cara bagaimana agar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meninggalkan dakwah beliau. Setelah gagal menempuh berbagai cara, mereka memperluas target mereka kepada Bani Hasyim, keluarga besar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta Bani Al Mutthalib yang selalu melindungi beliau.

Para pemuka kaum musyrikin berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang terletak di lembah Al Mahshib dan bersumpah untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Al Mutthalib. Mereka sepakat tidak akan menikahi Bani Hasyim dan Bani Al Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk dibunuh. Kesepakatan mereka tersebut dikukuhkan di atas sebuah shahifah (lembaran) dan digantungkan di dalam Ka’bah. [1]

Menghadapi hal ini Bani Hasyim dan Bani Al Mutthalib semuanya, baik yang masih kafir maupun yang sudah beriman selain Abu Lahab tetap berpihak untuk membela Rasulullah.

Pemboikotan semakin diperketat persediaan makanan mereka sampai habis. Kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Makkah atau dijual kecuali mereka segera memborongnya. Tindakan ini membuat kondisi Bani Hasyim dan Bani Al Mutthalib semakin kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman tersebut. Hampir tidak ada makanan yang sampai ke tangan mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi. Mereka pun tidak keluar rumah untuk membeli keperluan keseharian kecuali pada bulan-bulan Haram. [2]


PENGHENTIAN PEMBOIKOTAN

Di bulan Muharram tahun kesepuluh dari kenabian terjadi pembatalan terhadap pemboikotan. shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut. Di antara mereka ada yang sebenarnya menentang. Maka pihak yang menentang inilah yang kemudian membatalkan pemboikotan tersebut.

Di antara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyam bin Amr dari suku Bani Amir bin Lu’ay. Selama pemboikotan berlangsung Hisyam termasuk yang memberikan makanan secara diam-diam kepada Bani Hasyim. Hisyam dan beberapa orang tokoh Quraisy lainnya seperti Al Muth’im bin Adiy, Zuhair bin Umayyah, Abul Bukhturi bin Hisyam dan Zam’ah bin Al Aswad bersepakat untuk menghentikan pemboikotan tersebut. [3]


SURAT PERJANJIAN DIMAKAN RAYAP

Disebutan di dalam sebuah riwayat bahwa ketika mereka bersepakat untuk membatalkan, Rasulullah mendapatkan kabar dari Allah subhanahu wata’ala bahwa Allah telah mengirim pasukan rayap untuk memakan lembaran kesepakatan yang digatung di dalam Ka’bah. Beliau pun mengabarkan hal tersebut kepada pamannya Abu Thalib.

Abu Thalib pun kemudian datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh keponakanya kepadanya. Dia mengatakan, “Apabila keponakan ku berdusta, maka kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, Namun kalau apa yang dia sampaikan adalah benar, maka kalian harus membatalkan pemboikotan kepada kami.” Para pembesar Quraisy pun menyepakati hal tersebut.

Ketika Al Muth’im masuk ke dalam Ka’bah ternyata benar apa yang dikabarkan oleh Abu Thalib. Rayap-rayap telah memakan perjanjian pemboikotan tersebut kecuali tulisan “Bismikallah” (dengan nama-Mu ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya di mana rayap-rayap tersebut tidak memakannya.

Lalu dibatalkanlah pemboikotan tersebut sehingga Rasulullah bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat leluasa keluar.

Sungguh, peristiwa dimakannya lembaran perjanjian tersebut oleh rayap merupakan sebuah bukiti dari kenabian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi kaum musyrikin tetap dalam kekafiran mereka seperti yang telah Allah firmankan,

وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ
“Dan jika mereka melihat sesuatu tanda (mu'jizat), mereka berpaling dan berkata, "(Ini adalah) sihir yang terus menerus". (Al Qamar:2).[4]
Peristiwa pemboikotan ini menyingkap bagaimana kezhaliman yang dilakukan oleh kaum musrikin Quraisy. Penganiayaan mereka bukan berupa siksaan kepada golongan lemah dari kaum muslimin saja. Bahkan melebar kepada kerabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan yang merasakan akibat dari pemboikotan ini bukan saja orang-orang dewasa, akan tetapi juga anak-anak dan orang-orang yang sudah tua renta. Permusuhan mereka terhadap Islam telah sampai menghilangkan sisi kemanusiaan mereka.[5]

Tekanan yang dihadapi oleh Rasulullah dan para sahabat demikian berat, akan tetapi hal ini tidaklah membuat mereka kehilangan keimanan mereka. Rasa berat ini justru menambah kekokohan para sahabat dan keyakinan mereka akan datangnya pertolongan dari Allah.

Faidah lain dari kisah pemboikotan ini adalah datangnya pertolongan dari sisi orang-orang kafir. Hisyam bin Amr, Al Muth’im bin Adiy, Zuhair bin Umayyah, Abul Bukhturi bin Hisyam dan Zam’ah bin Al Aswad adalah orang-orang kafir yang menaruh simpati kepada pihak-pihak yang diboikot. Merekalah yang kemudian membatalkan perjanjian pemboikotan tersebut. Demikianlah keadaan dakwah, terkadang Allah memberikan pertolongan kepada agama ini melalui perantaraan orang-orang yang durhaka sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaqun alaihi,

إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
"Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali jiwa muslim dan sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan laki-laki fajir." [6]
Dari peristiwa pemboikotan yang dilakukan orang-orang kafir kepada orang-orang Islam ini, nampak jelas juga bagi kita salah satu dari bentuk peperangan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam adalah dalam bentuk perang ekonomi. Kaum kafir Mekah ketika ingin memerangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka tidak memerangi beliau dengan senjata, tetapi mereka menggunakan perang ekonomi dengan cara mengembargo Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, dengan tidak: ada hubungan transaksi jual beli maupun akad pernikahan dengan mereka.

Hal yang harus dipahami oleh kaum muslimin saat ini adalah sangat tepat apabila kaum muslimin mengembargo ekonomi kepada semua musuh yang memerangi umat Islam, dan tidak selalu melawan musuh Islam dengan persenjataan, tetapi setidaknya kita memerangi mereka dengan embargo ekonomi, dengan memutuskan hubungan perdagangan misalnya. Hal ini disebabkan jika embargo ekonomi ini tidak kita jalankan terhadap mereka yang memusuhi Islam, maka berarti kita mendukung musuh secara finansial untuk memerangi kaum muslimin, padahal tidak boleh seorang muslim membantu orang kafir dalam memerangi orang Islam.[7]


Wallahu a’lam bisshawab.

**********


CATATAN KAKI:


[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 129.
[2] Ibid.
[3] Ibid. hlm 130
[4] Ibid., hlm. 131
[5] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 216-217.
[6] Ibid., 218.
[7] Ibid.

#43 | USAHA NEGOSIASI PEMUKA QURAISY (BAG. 1)


Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan yang agung, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin Al Khaththab radhiallaahu 'anhuma, kaum musyrikin berupaya untuk mencari jalan lain, yaitu mengajukan negosiasi di mana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang diinginkan oleh beliau shallallahu 'alaihi wasallam asalkan mau menghentikan dakwahnya.

Dahulu ketika sedang berkumpul di bersama kawan-kawannya, salah seorang pemimpin Quraisy yang bernama Utbah bin Rabi'ah melihat Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam sedang duduk sendirian di masjid.

Utbah pun mengatakan "Wahai segenap pemuka Quraisy, bagaimana kalau aku ajak Muhammad bernegosiasi dengan mengajukan penawaran kepada dirinya. Mungkin ada di antara tawaran tersebut yang dia terima sehingga dia pun mau menghentikan dakwahnya?”

Peristiwa ini terjadi ketika Hamzah bin Abdul Muthalib telah masuk Islam, dan mereka melihat sahabat-sahabat Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam semakin banyak dan menyebar.

Maka orang-orang Quraisy pun berkata kepada Utbah, "Baiklah, wahai Abul Walid (panggilan Utbah, WMB). Temui dia dan bicaralah dengannya!"

Utbah pun segera menghampiri beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan duduk di sampingnya sambil berkata, “Wahai keponakanku, sesungguhnya engkau masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan kami. Engkau mempu nyai kehormatan di keluarga dan memiliki keluhuran nasab. Engkau telah merusak kemapanan kaummu. Engkau memecah belah persatuan mereka, mencemoohkan mimpi-mimpi mereka, mencaci-maki sesembahan dan agama mereka, dan mengkafirkan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Dengarkan perkataanku, sebab aku akan mengajukan beberapa tawaran yang bisa engkau pikirkan dan semoga engkau bisa menerima sebagian tawaran-tawaran tersebut”

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Utbah, "Katakan, wahai Abul Walid, aku pasti menyimak apa yang engkau katakan!"

Utbah berkata, "Wahai keponakanku, jika tujuan dakwahmu untuk menginginkan harta, maka kami akan himpun seluruh harta kami agar engkau menjadi orang terkaya di antara kami. Jika tujuanmu adalah kedudukan, kami akan angkat engkau sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan satu perkara pun tanpamu. Jika tujuanmu adalah kekuasaan, maka kami akan angkat engkau sebagai raja. Jika yang datang kepadamu adalah makhluk halus yang tidak sanggup engkau usir, maka kami mencarikan dukun untukmu dan mengeluarkan harta kami hingga engkau sembuh darinya, karena boleh jadi ini mengalahkan orang yang dimasukinya hingga ia sembuh darinya."

Ketika Utbah selesai bicara, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Apakah engkau sudah selesai bicara, wahai Abul Walid?"

Utbah menjawab, "Ya, sudah."

Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda, "Maka simaklah baik-baik apa yang akan aku katakan."

Kemudian Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam membaca sebuah ayat,

{حم (1) تَنزيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (3) بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ (4) وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ (5) }
Ha Mim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata, "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka beramallah kamu; sesungguhnya kami beramal (pula).” (Fusshilat: 1-5)
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan bacaannya.

Sementara Utbah, setiap kali ia mendengar Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat-ayat kepadanya, ia diam mendengarkannya dengan serius sambil bersandar dengan kedua tangannya.

Tatkala Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam sampai pada ayat Sajdah, beliau sujud, kemudian beliau bersabda, "Hai Utbah, engkau telah menyimak dengan jelas apa yang baru saja engkau dengar. Kini, terserah kepadamu mau kau apakan apa yang engkau baru dengarkan itu."

Utbah pun lalu kembali menemui sahabat-sahabatnya. Sebagian di antara mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Kami bersumpah kepada Allah, sungguh, Abul Walid datang ke tempat kalian dengan wajah yang berbeda dengan wajah saat ia berangkat."

Ketika Utbah telah duduk, mereka berkata kepadanya, "Apa yang telah terjadi, wahai Abul Walid?"

Utbah menjawab, "Demi Allah, baru saja aku mendengar perkataan yang belum pernah aku dengar sebelum ini. Demi Allah, perkataan tersebut bukan syair, bukan sihir, bukan perdukunan. Wahai orang- orang Quraisy, dengarkan aku! Serahkan perkara Quraisy kepadaku, biarkanlah orang itu dengan apa yang ia lakukan, dan biarkanlah dia! Demi Allah, ucapannya yang aku dengar tadi pada suatu saat akan menjelma menjadi kekuatan yang besar. Jika saja ucapannya tersebut dimiliki orang-orang Arab, mereka sudah merasa cukup dengannya tanpa kalian. Jika ia berhasil mengalahkan orang-orang Arab, maka kekuasaannya ialah kekuasaan kalian, dan kejayaannya adalah kejayaan kalian juga, kemudian kalian menjadi manusia yang paling berbahagia karenanya."

Mereka mengatakan kepada Utbah, "Wahai Abul Walid, Muhammad telah menyihirmu dengan mantera-manteranya!"

Utbah berkata, "Ini hanya pendapatku saja tentang dia. Terserah kalian, mau menerima atau tidak."

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Utbah mendengar bacaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sampai kepada firman-Nya,

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنْذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ
“Jika mereka berpaling maka katakanlah: ‘aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan kaum Tsamud”. (surat Fushshilat, ayat 13)
Utbah langsung mengatakan, “CUKUP... CUKUP!”

Utbah pun langsung menutup mulut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menyebutkan hubungan kekeluargaannya dengan Rasul agar Rasulullah menghentikan apa yang sedang beliau bacakan. Hal yang demikian karena ketakutannya terhadap peringatan yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Setelah itu Utbah pun menghampiri kaum Quraisy dan menceritakan apa yang baru saja terjadi.

Di waktu yang lain, kembali Quraisy mengajukan tawaran-tawaran kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beliau kembali menjawab dengan tegas,

ما جئت بما جئتكم به أطلب أموالكم ولا الشرف فيكم ولا الملك عليكم، ولكن الله بعثني إليكم رسولا، وأنزل عليّ كتابا، وأمرني أن أكون لكم بشيرا ونذيرا، فإن تقبلوا مني ما جئتكم به، فهو حظكم في الدنيا وفي الآخرة، وإن تردوه عليّ أصبر لأمر الله حتى يحكم الله بيني وبينكم.
“Tidaklah aku datang membawa dakwahku untuk meminta harta kalian. Demikian juga bukan karena mengharap pemuliaan dan kekuasaan di sisi kalian. Akan tetapi Allah telah mengutusku kepada kalian sebagai Rasul, menurunkan kitab kepadaku, dan memerintahkanku memberi kabar gembira dan peringatan untuk kalian. Jika kalian menerima apa yang aku bawa, maka itulah bagian keselamatan kalian di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika kalian menolak, aku bersabar terhadap perintah Allah hingga Dia memutuskan persoalan di antara kita.”

**********


SUMBER:
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 123-125.

#42 | HIKMAH DI BALIK MASUK ISLAMNYA HAMZAH DAN UMAR


Pembaca yang budiman, pada tulisan sebelumnya kita telah paparkan bagaimana kisah masuk Islamya Hamzah dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Di balik masuk islamnya kedua sahabat yang mulia ini terdapat beberapa hikmah yang bisa kita renungkan. Di antaranya:

1.) Telah kita sebutkan bahwa penyebab masuk Islamnya Hamzah radhiyallahu 'anhu adalah karena Abu Jahal yang selalu menyakiti dan mengganggu Rasulullah shallallahu alaihi wasallamDemikianlah, keburukan yang dialami Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebabkan kebaikan yang sangat besar bagi Hamzah radhiyallahu anhu.

Allah subhanahu wata'ala terkadang telah menakdirkan bahwa di balik keburukan itu terdapat kebaikan yang banyak. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
فَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
(Maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah subhanahu wata’ala menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa': 19) 

Allah juga berfirman,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu." ( Al Baqarah: 216)

2.) Kitab-kitab sirah menyebutkan bahwa awal Islamnya Hamzah radhiyallahu anhu adalah karena terdorong oleh harga diri (gengsi) seorang laki-laki yang tidak ingin seorang keluarganya dilecehkan. Kemudian Allah subhanahu wata’ala melapangkan hatinya untuk menerima Islam dan ia berpegang teguh dengan tali agama Allah yang amat kokoh ini. Bisa jadi, awal mula seseorang masuk Islam tujuannya untuk selain Allah subhanahu wata’ala, akan tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya perbaikan niat di kemudian waktu. 

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, 
إن كان الرجل ليسلم ما يريد إلا الدنيا فما يسلم حتى يكون الإسلام أحب إليه من الدنيا وما عليها
"Sesungguhnya dahulu, ada sebagian orang yang masuk Islam. Dia tidak mengharapkan dari keislamannya itu melainkan hanya keuntungan dunia. Namun setelah ia masuk Islam, maka Islam menjadi lebih ia cintai daripada dunia dan segala isinya." 

3.) Tidak semua bentuk fanatisme kesukuan atau keluarga itu tercela. Jika fanatisme kesukuan ini dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan untuk meninggikan kalimat Allah serta melawan kezhaliman, maka fanatisme ini menjadi sesuatu yang baik. Dengan adanya anggota keluarga beliau, maka dakwah beliau terlindungi. Ini salah satu factor yang menjadi sebab kenapa Islam diturunkan di tengah bangsa Arab. Karena kebiasaan mereka yang melindungi keluarga mereka sehingga dakwah Rasulullah pun selalu dijaga oleh keluarga beliau meskipun berbeda keyakinan.

4.) Keutamaan membela Rasulullah shallallahu alaihi wasallamKarena pembelaan yang sangat mulia ini, Allah Ta ala membuka pintu hati Hamzah bin Abdul Mutthalib sehingga ia masuk Islam.

5.) Dari kisah Laila, istri Amir bin Rabi'ah, kita mendapatkan sebuah pelajaran penting bahwa kita tidak boleh putus asa akan keimanan seseorang, sekalipun ia sangat memusuhi Islam atau banyak melakukan kemaksiatan. Contohnya Umar bin AI Khatthab radhiyallahu anhu yang sebelumnya sangat menjadi musuh besar bagi kaum muslimin sehingga Amir bin Rabi'ah merasa yakin bahwa Umar tidak akan masuk Islam sampai keledai milik ayahnya, Al Khaththab, masuk Islam terlebih dahulu. Akan tetapi, Allah subhanahu wata’ala telah menakdirkan hidayah bagi Umar radhiyallahu anhu sehingga ia menjadi salah satu tokoh yang paling besar jasanya bagi Islam.

6.) Disyariatkannya mendoakan orang kafir agar mendapatkan hidayah. Khususnya bagi seseorang yang akan mempunyai pengaruh positif bagi kaum muslimin. Walaupun besar upaya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk berdakwah, mengajak orang kepada Islam, namun beliau pun tidak lupa berdoa kepada Allah Ta'ala untuk kaumnya secara umum atau untuk tokoh tertentu agar mereka mendapatkan hidayah di mana beliau berdoa,

اللهم أعز الإسلام بأحب الرجلين إليك: بعمر بن الخطاب أو بأبي جهل بن هشام
“Ya Allah! Kokohkanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai: Umar bin Al Khatthab atau Abu Jahal bin Hisyam.” 

7.) Sesungguhnya kewajiban membenci orang kafir bukanlah karena pribadinya, tetapi disebabkan akidah batil yang dibawa oleh dirinya. Pelajaran ini kita peroleh dari perbuatan Rasulullah yang mendoakan orang kafir agar mendapatkan hidayah. Kalau kita membenci seseorang karena pribadinya, maka kita tidak menyukai kalau ia mendapatkan kebaikan. Namun kalau kita membencinya dikarenakan suatu perkara, maka kita membencinya selama perkara itu ada padanya. Akan tetapi, jika ia telah meninggalkan perkara itu, maka kita pun akan mencintai dan mendukungnya.

8.) Disyariatkan untuk membuat orang kafir sedih dan jengkel. Pelajaran ini diperoleh ketika Umar bin Al Khatthab radhiyallahu anhu segera mengumumkan secara terang-terangan keislamannya lalu melakukan shalat di dekat Ka'bah. Perbuatan Umar tersebut membuat orang-orang Quraisy merasa sedih dan cemas yang luar biasa. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman,
وَلا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلا إِلا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. (At Taubah: 120)
يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). (Al Fath: 29)

9.) Pengakuan terhadap kelebihan orang lain. Ini pelajaran yang dapat kita petik dari lbnu Mas'ud radhiyallahu anhu yang menyebut-nyebut keutamaan Umar bin Al Khatthab radhiyallahu anhu atas kaum muslimin dan mengakui kelebihannya. Ibnu Mas'ud mengatakan,
ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر
“Kami senantiasa memiliki izzah (kemulian diri) semenjak Umar masuk Islam."

10.) Faktor awal yang menyebabkan Umar radhiyallahu anhu masuk Islam adalah ketika ia mendengar beberapa ayat Al Qur’an. Ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh Al Qur’an yang mulía ini terhadap hati manusia.

Oleh karena itu, hendaknya para da'i dan para khatib memberikan perhatian yang besar terhadap hal ini. Tidak selayaknya berceramah atau memberikan nasihat tanpa mengutip ayat-ayat Al Qur’an. Tidak selayaknya kalimat-kalimat sang khatib atau da'i lebih mendominasi pembicaraan melebihi ayat-ayat Allah Ta’ala. 

Hendaknya selalu diingat betapa besar pengaruh ayat-ayat Allah ini ketika dibacakan oleh Rasulullah shallaliahu alaihi wasallam terhadap siapa pun yang mendengarkannya sehingga ayat-ayat yang mulia itu menjadi penyebab seseorang menerima kebenaran atau berhenti dan meninggalkan keburukan yang dilarang oleh agama. Cara dakwah seperti itu pula yang pernah dilakukan oleh para sahabat Rasul dan para Salafusshalih yang lain.

11.) Di saat Umar radhiyallahu anhu masuk Islam para sahabat bertakbir. Begitulah seharusnya ketika kita mendengar atau melihat sesuatu yang menggembirakan hendaknya kita bertakbir, tidak bertepuk tangan seperti yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin suka meniru kebiasaan orang di luar Islam.


Demikianlah beberapa hikmah yang bisa kita petik dari kisah masuk Islamnya Hamzah dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Semoga bisa bermanfaat.
Wallahu a’lam bisshawab.

**********

REFERENSI:
Fiqih Siroh, Prof. DR. Zaid bin Abdul Karim Zaid, hlm. 208 s.d 212.