#46 I WAFATNYA ABU THALIB & PELAJARAN DI BALIKNYA

Share


Di usainya yang semakin tua, sakit yang diderita oleh Abu Thalib semakin bertambah parah. Tampaknya waktu kematian akan segera tiba. Abu Thalib pun akhirnya meninggal pada bulan Rajab tahun kesepuluh dari nubuwah, selang enam bulan setelah keluar dari pemboikotan. Sebagian ulaa berpendapat bahwa dia meninggal dunia pada bulan Ramadhan, tiga bulan sebelum wafatnya istri Rasulullah, Khadijah radhiallahu ‘anha.

Di sebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari, dari Al-Musayyab radhiyallah ‘anhu



أن أبا طالب لما حضرته الوفاة دخل عليه النبي صلى الله عليه وسلم وعنده أبو جهل، فقال: أي عم، قل: لا إله إلا الله، كلمة أحاج لك بها عند الله، فقال أبو جهل وعبد الله بن أبي أمية: يا أبا طالب، ترغب عن ملة عبد المطلب؟ فلم يزالا يكلماه حتى قال آخر شيء كلمهم به: على ملة عبد المطلب. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لأستغفرن لك ما لم أنه عنك، فنزلت: ما كانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانُوا أُولِي قُرْبى مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحابُ الْجَحِيمِ [التوبة: 113] ونزلت إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ [القصص: 
Bahwa tatkala ajal hampir menghampiri Abu Thalib, Nabi alaihis shalatu wassalaam menemuinya. Di sisinya ada Abu Jahal. Beliau mengatakan,
"Wahai paman, ucapkanlah ‘La ilaha illallah’, satu kalimat yang dapat engkau jadikan hujjah untuk membelamu di sisi Allah!" 
Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah lalu mengatakan kepada Abu Thalib, 
"Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak menyukai agama Abdul Muththalib ?" 
Keduanya tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata ini, hingga pernyataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah, "Tetap berada pada agama Abdul Muththalib."
Beliau bersabda, "Aku benar-benar akan memohon ampunan bagimu wahai paman selagi aku tidak dilarang melakukannya."
Lalu turun firman Allah, 
ما كانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كانُوا أُولِي قُرْبى مِنْ بَعْدِ ما تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحابُ الْجَحِيمِ 
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam." (At Taubah: 113).
Allah juga menurunkan ayat,
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ 
"Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi." (Al-Qashash: 56) [1]

Abu Thalib telah memberikan perlindungan dan pertolongan yang luar biasa kepada Rasulullah shallallahu aliahi wasallam. Namun sangat disayangkan, dia tetap berada pada agama leluhurnya, sehingga sama sekali tidak mendapat keberuntungan.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib, bahwa beliau mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
"Pamanmu telah banyak berjasa kepadamu. Dia teah memberikan perlindungan dan pembelaan kepada dirimu...”
Maka Rasulullah pun mengatakan, 

هو في ضحضاح من نار، ولولا أنا لكان في الدرك الأسفل من النا
"Dia berada di neraka yang dangkal. Kalau tidak karena aku, tentu dia berada di tingkatan neraka yang paling bawah..."
Demikian juga di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لعله تنفعه شفاعتي يوم القيامة، فيجعل في ضحضاح من النار تبلغ كعبيه
"Semoga syafaatku bermanfaat baginya pada hari kiamat nanti, sehingga dia diletakkan di neraka yang dangkal, hanya sebatas tumitnya saja."[2]

Banyak pelajaran penting dari kisah Abu Thalib ini yang disebutkan oleh para ulama, di antaranya:


HIKMAH DI BALIK TETAP KUFURNYA ABU THALIB

Di antara faidah dari tetapnya Abu Thalib di dalam agama kaumnya hingga ajal menjemput, padahal ia telah banyak membantu dan membela Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam. Dengan tetapnya Abu Thalib mengikuti agama kaumnya itu merupakan hikmah besar dari Allah agar dia tetap bisa memberikan perlindungan dan pembelaan kepada Rasulullah. 

Karena seandainya Abu Thalib masuk Islam, pastilah ia tidak memiliki kewibawaan lagi di mata kaum musyrikin Quraisy. Mereka tidak akan mau mendengar ucapan dan tidak menghormati ucapannya lagi. Bahkan mereka akan berani menentangnya dan menyakitinya, baik dengan lisan maupun perbuatan mereka. Tentu dengan tetapnya Abu Thalib di atas agama nenek moyangnya, padanya terdapat kemaslahatan yang sangat banyak bagi siapa pun yang mampu merenungkannya.[3]


BESARNYA PENGARUH TEMAN DEKAT BAGI SESEORANG

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah berusaha sekuat tenaga untuk membimbing pamannya agar mendapatkan hidayah Islam. Akan tetapi, pada detik-detik terakhir kehidupan Abu Thalib, ia didatangi oleh teman-temannya yang buruk, sehingga setiap kali dibimbing Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam agar ia mengucapkan Laa ilaha illallah, kawan-kawan buruknya itu mengingatkannya agar tetap mengikuti agama ayahnya, Abdul Mutthalib. 

Oleh karena itu, Abu Thalib pun tetap memegang teguh agama ayahnya dan meninggal dunia dalam keadaan musyrik karena ia menolak mengucapakan Laa ilaaha illallah. Sungguh ini kerugian yang tiada taranya, disebabkan oleh persahabatan dengan teman yang buruk, yang biasanya selalu menyesatkan dan menyebar kerusakan di tengah masyarakat, yang kadang sulit dideteksi pengaruh mereka, kecuali setelah terlambat.
Allah ta’ala berfirman,


وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (Al Furqan: 27-29) [4]



KEADAAN SESEORANG TERGANTUNG DARI AKHIR HIDUPNYA

Bahwa ketentuan baik dan buruknya seseorang ada pada akhir hayatnya. Sekiranya Abu Thalib kafir sepanjang hidupnya, namun dia mengakhiri hidupnya dengan masuk agama Tauhid, niscaya surga akan ia raih.
Kondisi ini mengingatkan kita pada pentingnya akhir dari setiap perbuatan, bahwa penilaian baik dan buruk ada padanya. Barangsiapa yang memahami dengan benar arti penting dari Husnul khatimah (akhir hayat yang baik), maka niscaya ia tidak akan melakukan suatu dosa karena khawatir kalau usianya akan ditutup dengan dosa tersebut.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan jangan sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan Islam." (Ali Imran: 102) [5]

BAHAYA MEMBEBEK KEPADA TRADISI NENEK MOYANG

Hal ini bisa kita lihat pada saat Abu Thalib diajak oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk masuk Islam, ia selalu menjawab bahwa ia tetap berpegang teguh pada tradisi nenek moyang sebagaimana dinyatakan oleh Allah di dalam firman-Nya,


بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ 
Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22).[6] 

(bersambung)

**********


CATATAN KAKI:
[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 134.
[2] Ibid.
[3] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 223.
[4] Ibid., hlm. 224
[5] Ibid., hlm. 225.
[6] Ibid., hlm. 225.