#26 | PERINTAH UNTUK SHALAT

Share

Pembaca yang budiman, pada pertemuan yang terakhir kita telah paparkan tentang masuk Islamnya beberapa orang sahabat baik yang berasal dari Quraisy maupun yang di luar mereka. Setelah mereka masuk Islam, mereka pun diperintahkan untuk menegakkan shalat.

Shalat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ “
“Islam itu dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, menunaikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirahnya,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إلَى شِعَابِ مَكَّةَ، وَخَرَجَ مَعَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ مُسْتَخْفِيًا مِنْ أَبِيهِ أَبِي طَالِبٍ. وَمِنْ جَمِيعِ أَعْمَامِهِ وَسَائِرِ قَوْمِهِ، فَيُصَلِّيَانِ الصَّلَوَاتِ فِيهَا، إِذَا أَمْسَيَا رَجَعَا. فَمَكَثَا كَذَلِكَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَمْكُثَا.
Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika masuk waktu shalat berangkat ke Perbukitan Makkah. Ali bin Abi Thalib ikut bersamanya dengan sembunyi-sembunyi dari ayahnya (yaitu Abu Thalib), paman-pamannya dan seluruh kaumnya. Kemudian keduanya mengerjakan shalat dan ketika petang keduanya pulang. Mereka tetap seperti ini sesuai dengan kehendak Allah.

Kemudian dituturkan oleh Ibnu Hisyam,
ثُمَّ إنَّ أَبَا طَالِبٍ عَثَرَ عَلَيْهِمَا يَوْمًا وَهُمَا يُصَلِّيَانِ، فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا بن أَخِي! مَا هَذَا الدِّينُ الَّذِي أَرَاكَ تَدِينُ بِهِ؟ قَالَ: أَيْ عَمِّ، هَذَا دِينُ اللَّهِ، وَدِينُ مَلَائِكَتِهِ، وَدِينُ رُسُلِهِ، وَدِينُ أَبِينَا إبْرَاهِيمَ- أَوْ كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ رَسُولًا إلَى الْعِبَادِ، وَأَنْتَ أَيْ عَمِّ، أَحَقُّ مَنْ بَذَلْتُ لَهُ النَّصِيحَةَ، وَدَعَوْتُهُ إلَى الْهُدَى، وَأَحَقُّ مَنْ أَجَابَنِي إلَيْهِ وَأَعَانَنِي عَلَيْهِ، أَوْ كَمَا قَالَ، فَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: أَيْ ابْنَ أَخِي، إنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أُفَارِقَ دِينَ آبَائِي وَمَا كَانُوا عَلَيْهِ، وَلَكِنْ وَاَللَّهِ لَا يَخْلُصُ إلَيْكَ بِشَيْءٍ تَكْرَهُهُ مَا بَقِيتُ
Suatu hari, ketika Abu Thalib mendapati keduanya sedang shalat, maka berkatalah dia kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai anak saudaraku, apa agama yang engkau anut ini?

Rasulullah menjawab, “Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan agama bapak kita Ibrahim (atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam). Allah telah mengutus aku sebagai Rasul-Nya membawa agama ini kepada para hamba. Dan engkau wahai pamanku, yang paling berhak untuk aku beri nasihat dan aku ajak kepada petunjuk. Engkaulah yang paling wajib untuk mengikutiku dan menolongku atas dakwah ini (atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam).”

Abu Thalib lalu berkata, “Wahai anak saudaraku, aku tidak bisa meninggalkan agama nenek moyangku dan adat yang mereka ada di atasnya. Tetapi, demi Allah! Tidak akan kubiarkan sesuatu yang tidak kau sukai mengenai/menimpa kamu selama aku hidup!”[1]

Dalam riwayat yang lain yang dibawakan oleh Al Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnad beliau juga disebutkan dari sahabat Afif Al Kindi radhiyallahu ‘anhu,

كنت امرأ تاجرا فقدمت الحج فأتيت العباس بن عبد المطلب لابتاع منه بعض التجارة وكان امرأ تاجرا فوالله انى لعنده بمنى إذ خرج رجل من خباء قريب منه فنظر إلى الشمس فلما رآها مالت يعنى قام يصلي قال ثم خرجت امرأة من ذلك الخباء الذي خرج منه ذلك الرجل فقامت خلفه تصلى ثم خرج غلام حين راهق الحلم من ذلك الخباء فقام معه يصلي
“Dahulu aku adalah seorang pedagang. Aku pernah datang ke kota Makkah untuk berhaji. Aku menemui Abbas bin Abdul Muthalib untuk membeli barang dagangan darinya. Dia juga seorang pedagang. Demi Allah aku pernah berada di dekatnya di Mina. Tiba-tiba keluarlah seorang laki-laki dari dalam tenda yang tidak jauh darinya. Laki-laki itu melihat ke arah matahari. Ketika dia melihat matahari telah condong dia pun berdiri untuk shalat.
Kemudian keluarlah seorang perempuan dari dalam tenda yang sama. Perempuan itu berdiri di belakang laki-laki tesebut untuk shalat.
Setelah itu keluarlah seorang anak yang telah menginjak usia baligh dari tenda tersebut. Dia juga berdiri bersama laki-laki itu untuk shalat.

قال فقلت للعباس من هذا يا عباس قال هذا محمد بن عبد الله بن عبد المطلب بن أخي قال فقلت من هذه المرأة قال هذه امرأته خديجة ابنة خويلد قال قلت من هذا الفتى قال هذا علي بن أبى طالب بن عمه قال فقلت فما هذا الذي يصنع قال يصلي وهو يزعم انه نبي ولم يتبعه على أمره الا امرأته وبن عمه هذا الفتى وهو يزعم انه سيفتح عليه كنوز كسرى وقيصر قال فكان عفيف وهو بن عم الأشعث بن قيس يقول وأسلم بعد ذلك فحسن إسلامه لو كان الله رزقني الإسلام يومئذ فاكون ثالثا مع علي بن أبى طالب رضي الله عنه
Aku pun bertanya kepada Abbas, ‘Siapa laki-laki itu wahai Abbas?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, dia adalah putra dari saudara laki-lakiku’.
Aku bertanya lagi, ‘Siapa perempuan itu?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah istrinya, Khadijah binti Khuwailid.’
Aku bertanya lagi, ‘Lalu siapa anak muda itu?’
Dia menjawab, ‘Itu adalah Ali bin Abi Thalib, sepupunya.’
Aku bertanya, ‘Apa yang sedang dia lakukan?’
Abbas menjawab, ‘Dia sedang mengerjakan shalat. Dia mengaku bahwa dirinya seorang Nabi. Belum ada yang mengikuti ajarannya kecuali istrinya dan anak laki-laki pamannya yaitu anak muda tersebut. Dia mengatakan bahwa akan dibukakan untuknya perbendaharaan raja Kisra dan Kaisar.’
Afif kemudian berkata, “Setelah itu Abbas pun masuk Islam dan keislamannya menjadi bagus. Seandainya pada saat itu Allah menganugerahkan islam kepadaku niscaya aku akan menjadi orang ketiga setelah Ali bin Abi Thalib...” (HR. Ahmad) [2]


BAGAIMANA SHALAT BELIAU KETIKA ITU?

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan bahwa terdapat banyak hadits yang menyebutkan bahwa sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah dan para sahabat telah melaksanakan shalat.

إنه كان قد فرض عليه ركعتان في أول النهار وركعتان في آخره فقط، ثم افترضت عليه الصلوات الخمس ليلة الإسراء -: قاله مقاتل وغيره.
وقال قتادة: كان بدء الصلاة ركعتين بالغداة، وركعتين بالعشي
Kemudian beliau menjelaskan, “Shalat yang difardhukan ketika itu adalah dua rakaat di awal siang dan dua rakaat di akhir siang. Kemudian barulah diwajibkan kepada beliau shalat yang lima waktu di malam Isra’. Demikian yang disebutkan oleh Muqatil dan yang selain beliau. Adapun Qatadah rahimahullah mengatakan bahwa shalat pertama kali adalah dua raka’at di pagi hari dan dua raka’at di waktu isya’.” [3]


Wallahu a’lam bisshawab.


CATATAN KAKI:
[1] Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyah (Mesir: Mushtafa Al Baabi Al Halabi, 1995) jilid 1 hlm. 246.
[2] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 72-73.
[3] Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, (Madinah: Maktabah Al Ghuraba’, 1996), jil. 2, hlm. 304.