Kisah Gharaniq adalah kisah di mana kaum musyrikin bersujud bersama Rasulullah. Ketika sedang shalat, kaum musyrikin mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca,
تلك الغرانيق العلى ، وإن شفاعتهن لترجى
“Itulah tiga berhala (gharaaniq) pertama. Sesungguhnya syafa’at ketiganya sangat dinantikan.”
Ketika kaum Quraisy mendengar kalimat tersebut, mulai timbul rasa senang pada diri mereka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian meneruskan bacaan Al Qur’an beliau sampai dengan akhir surat. Ketika beliau sujud di akhir ayat surah tersebut, semua orang yang hadir di tempat itu, baik muslim maupun musyrik, ikut bersujud. Orang-orang Quraisy pun bubar dengan keadaan senang atas kejadian tersebut. Mereka mengatakan, “Muhammad telah menyebut sesembahan-sesembahan kita dengan sebutan yang baik.”
Berita tentang sujudnya kaum musyrikin Quraisy itu sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah ke negeri Habasyah. Mereka mengira bahwa kaum musyrikin Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena itu, mereka pun kembali ke Makkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama. Namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Makkah, mereka akhirnya mengetahui kisah yang sebenarnya terjadi. Sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Makkah secara diam-diam atau berlindung di bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.[1]
KESHAHIHAN KISAH
Para ulama berbeda pendapat tentang keshahihan kisah ini. Di antara yang menshahihkan kisah ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari. Beliau berpendapat bahwasannya hadits tersebut kuat dengan banyak jalan, walaupun sanadnya mursal. Beliau mengatakan,
Berita tentang sujudnya kaum musyrikin Quraisy itu sampai ke telinga kaum muslimin yang berhijrah ke negeri Habasyah. Mereka mengira bahwa kaum musyrikin Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena itu, mereka pun kembali ke Makkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama. Namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Makkah, mereka akhirnya mengetahui kisah yang sebenarnya terjadi. Sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Makkah secara diam-diam atau berlindung di bawah suaka seseorang dari suku Quraisy.[1]
*****
KESHAHIHAN KISAH
Para ulama berbeda pendapat tentang keshahihan kisah ini. Di antara yang menshahihkan kisah ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari. Beliau berpendapat bahwasannya hadits tersebut kuat dengan banyak jalan, walaupun sanadnya mursal. Beliau mengatakan,
لَكِنْ كَثْرَةُ الطُّرُقِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلْقِصَّةِ أَصْلًا
“Akan tetapi banyaknya jalur periwayatan kisah ini menunjukkan bahwa riwayat ini memiliki asal..”[2]
Adapun ulama lain mengatakan bahwa kisah ini merupakan kisah yang batil. Kebatilan kisah ini bisa dlihat dari berbagai sisi:
1.) Dari sisi sanad
Al Imam Al Baihaqi rahimahullah berkata,
هذه القصة غير ثابتة من جهة النقل
”Kisah Gharaniq ini sama sekali tidak masuk akal ditinjau dari sudut pandang penukilannya.”[3]
Al Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata,
هذا من وضع الزنادقة
”Sesungguhnya kisah Gharaniq ini termasuk kebohongan yang diciptakan oleh orang-orang zindiq”.[4]
Al Imam Al Bazzar rahimahullah berkata,
هذا الحديث لا نعلمه يروى عن النبي صلى الله عليه وسلم بإسناد متصل
“Aku tidak pernah menjumpai hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang tersambung”.[5]
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan,
لا يصح ، بل هو باطل موضوع
“Tidak shahih, bahkan kisah tersebut merupakan kisah bathil lagi maudlu’ (palsu).” [6].
2.) Kritik dari Sisi Konten
Dari sisi konten, kisah ini memiliki berbagai keganjilan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mungkin mengucapkan sesuatu dari ayat Al-Quran dari hawa nafsu beliau. Di dalam banyak ayat Allah telah menegaskan hal ini. Allah berfirman,
Dari sisi konten, kisah ini memiliki berbagai keganjilan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mungkin mengucapkan sesuatu dari ayat Al-Quran dari hawa nafsu beliau. Di dalam banyak ayat Allah telah menegaskan hal ini. Allah berfirman,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىَ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya” (An-Najm : 3).
Allah juga berfirman,
وَلَوْلاَ أَن ثَبّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئاً قَلِيلاً
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka” (Al-Israa’ : 74).
وَلَوْ تَقَوّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأقَاوِيلِ * لأخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ * ثُمّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (Al Haaqqah : 44-46)
Tidak perlu diragukan lagi bahwa orang yang berpendapat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memperbolehkan mengagung-agungkan berhala adalah orang yang telah kufur. Karena sudah sangat maklum bahwa di antara misi beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam yang terbesar adalah memberantas berhala di muka bumi.
Jika seandainya kita memungkinkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bisa salah seperti dalam kisah Gharaniq tersebut, maka artinya syari’at Islam tidak aman dari unsur kealpaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dengan kata lain, kita juga memiliki anggapan bahwa setiap aturan syari’at dimungkinkan juga mengalami kesalahan sebagaimana yang terjadi pada kisah Gharaniq. Yaitu syaithan telah berhasil menunggangi lisan beliau ketika berbicara. Berarti keyakinan seperti ini sama saja telah membatalkan firman Allah ta’ala,
Jika seandainya kita memungkinkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bisa salah seperti dalam kisah Gharaniq tersebut, maka artinya syari’at Islam tidak aman dari unsur kealpaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dengan kata lain, kita juga memiliki anggapan bahwa setiap aturan syari’at dimungkinkan juga mengalami kesalahan sebagaimana yang terjadi pada kisah Gharaniq. Yaitu syaithan telah berhasil menunggangi lisan beliau ketika berbicara. Berarti keyakinan seperti ini sama saja telah membatalkan firman Allah ta’ala,
يَـَأَيّهَا الرّسُولُ بَلّغْ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رّبّكَ وَإِن لّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya” (Al Maaidah : 67).
Sehingga jelaslah kebatilan kisah ini.[7]
BEBERAPA PENDAPAT YANG LAIN
Sebagian ulama memiliki pendapat yang berbeda. Al-Baghawi misalnya. Beliau tidak menisbahkan ucapan tersebut kepada Rasulullah, akan tetapi Syaithanlah yang telah membuat telinga-telinga kaum musyrikin mendengar ucapan tersebut. Rasulullah sendiri tidak mengucapkannya.
*****
BEBERAPA PENDAPAT YANG LAIN
Sebagian ulama memiliki pendapat yang berbeda. Al-Baghawi misalnya. Beliau tidak menisbahkan ucapan tersebut kepada Rasulullah, akan tetapi Syaithanlah yang telah membuat telinga-telinga kaum musyrikin mendengar ucapan tersebut. Rasulullah sendiri tidak mengucapkannya.
Beliau mengatakan,
أَنَّ الشَّيْطَانَ أَوْقَعَ فِي مَسَامِعِ الْمُشْرِكِينَ ذَلِكَ، فَتَوَهَّمُوا أَنَّهُ صَدَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَيْسَ كذلك في نفس الأمر، بل إنما كَانَ مِنْ صَنِيعِ الشَّيْطَانِ لَا مِنْ رَسُولِ الرَّحْمَنِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Syaithan telah membisikkan kalimat tersebut ke dalam pendengaran kaum musyrik, sehingga mereka menduga bahwa kalimat-kalimat tersebut bersumber dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Padahal kenyataannya tidaklah demikian, melainkan dari ulah syaithan dan perbuatannya bukan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.”[8]
Adapun Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri di dalam Rahiqul Makhtum menyebutkan bahwa ucapan tersebut sengaja dikarang oleh kaum musyrikin Quraisy untuk menutupi rasa malu mereka yang terlanjur ikut bersujud karena mendengar bacaan Al-Quran.
Ketika itu tak seorang pun di antara mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindahan Al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang sombong dan suka mengolok-olok ini. Mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh bersujud kepada Allah.
Mereka kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa, ketika keagungan Kalamullah telah menguasai alam pikiran mereka. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya. Mereka menyebarkan berita bahwa Rasulullah mengatakan
Ketika itu tak seorang pun di antara mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga merekapun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindahan Al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa-jiwa kaum yang sombong dan suka mengolok-olok ini. Mereka semua tak sanggup menahannya bahkan jatuh bersujud kepada Allah.
Mereka kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa, ketika keagungan Kalamullah telah menguasai alam pikiran mereka. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Dengan begitu, mereka merasa inilah pula momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dan mencemarkan nama baik beliau dengan membalikkan fakta yang sebenarnya. Mereka menyebarkan berita bahwa Rasulullah mengatakan
تلك الغرانيق العلى ، وإن شفاعتهن لترجى
“Itulah tiga berhala (gharaaniq) pertama. Sesungguhnya syafa’at ketiganya sangat dinantikan.”Berita dusta ini mereka sebarkan agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika itu. [9]
Wallahu a’lam bisshawab.
**********
CATATAN KAKI
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Hajj ayat 52.
[2] Ibnu Hajar, Fathul Bari, (Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H), jilid 8, hlm. 439.
[3] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Nashbul Majaaniq linisfi Qishshatil Gharaaniq, (Riyadh: Al Maktabah Al Islami, 1996), hlm. 46
[4] Ibid.
[5] Ibid, hlm. 56.
[6] Ibid., hlm. 4.
[7] Bantahan-bantahan ini dengan jelas dipaparkan oleh Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitab beliau Nashbul Majaaniq linisfi Qishshatil Gharaaniq.
[8] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Hajj ayat 52.
[9]Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 113.