#32 | PELECEHAN TERHADAP RASULULLAH

Share

Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang dihormati oleh orang-orang Quraisy. Namun setelah beliau menyebarkan dakwah tauhid di tengah-tengah masyarakat, maka berubahlah penghormatan tersebut menjadi pelecehan dan perendahan terhadap diri beliau.

Pelecehan tersebut dimulai dari Abu Lahab. Abu Lahab yang selain berkedudukan sebagai paman beliau, Abu Lahab juga adalah besan beliau karena kedua putra Abu Lahab, Utbah dan Utaibah adalah menantu Rasulullah, suami dari dua orang putri beliau Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Abu Lahab memerintahkan kedua putranya untuk langsung menceraikan kedua putri Rasul yang mulia tersebut. [1]

Demikian juga ketika putra Rasulullah yang bernama Abdullah meninggal dunia, maka Abu Lahab dengan gembira menyebarkan berita tersebut lalu memberi julukan Al Abtar kepada Rasulullah. Al Abtar yang dia inginkan maknanya adalah orang yang terputus. Oleh karena itulah Allah menurunkan firmannya,

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Rabb-mu dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (Al Kautsar: 1-3)[2]

Pelecehan kepada diri beliau terjadi secara intensif, bahkan sampai ketika beliau sedang melaksanakan ibadah. Disebutkan di dalam Shahih Al Bukhari, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita...

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي عِنْدَ الْبَيْتِ، وَأَبُو جَهْلٍ وَأَصْحَابٌ لَهُ جُلُوسٌ، إِذْ قَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ أَيُّكُمْ يَجِيءُ بِسَلَى جَزُورِ بَنِي فُلاَنٍ فَيَضَعُهُ عَلَى ظَهْرِ مُحَمَّدٍ إِذَا سَجَدَ

Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat di sisi Baitullah sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah duduk-duduk. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Siapa di antara kalian yang akan membawa kotoran unta Bani Fulan lalu meletakkannya ke punggung Muhammad saat dia sedang sujud?”

فَانْبَعَثَ أَشْقَى الْقَوْمِ فَجَاءَ بِهِ، فَنَظَرَ حَتَّى إِذَا سَجَدَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَضَعَهُ عَلَى ظَهْرِهِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ وَأَنَا أَنْظُرُ، لاَ أُغَيِّرُ شَيْئًا، لَوْ كَانَ لِي مَنْعَةٌ‏.‏ قَالَ فَجَعَلُوا يَضْحَكُونَ وَيُحِيلُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَاجِدٌ لاَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ،

Maka bangkitlah sosok yang paling celaka di antara mereka, membawa kotoran tersebut sambil memperhatikan gerakan  Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalatnya. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sujud kepada Allah, dia menumpahkan kotoran tersebut ke arah punggungnya diantara dua bahunya. Aku (Ibnu Mas’ud-WMB) memandangi hal itu. Kalau saja aku da yang melindungi, maka ingin sekali aku melakukan sesuatu...

Lalu mereka pun tertawa-tawa sambil masing-masing saling mencolek satu sama lainnya dengan penuh kesombongan dan keangkuhan sedangkan Rasulullah masih sujud dan tidak mengangkat kepala beliau..

حَتَّى جَاءَتْهُ فَاطِمَةُ، فَطَرَحَتْ عَنْ ظَهْرِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ قَالَ ‏”‏ اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ ‏”‏‏.‏ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ إِذْ دَعَا عَلَيْهِمْ ـ قَالَ وَكَانُوا يُرَوْنَ أَنَّ الدَّعْوَةَ فِي ذَلِكَ الْبَلَدِ مُسْتَجَابَةٌ ـ ثُمَّ سَمَّى

Hingga kemudian Fathimah datang dan membuang kotoran tersebut dari punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala, kemudian berdoa,

‏اللهم عليك بقريش‏
‘Ya Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy tersebut’. Beliau mengucapkannya tiga kali.

Doa beliau ini membuat hati mereka sesak dan gelisah. Mereka menganggap bahwa doa di Makkah itu adalah doa yang dikabulkan. Kemudian dalam doanya tersebut, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan nama mereka satu persatu..

‏”‏ اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ، وَعَلَيْكَ بِعُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، وَشَيْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، وَالْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ، وَأُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ، وَعُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ ‏”‏‏.‏ وَعَدَّ السَّابِعَ فَلَمْ يَحْفَظْهُ
“Ya Allah! binasakanlah Abu Jahal, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al Walid bin ‘Utbah, Umayyah bin Khalaf, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith...” Rasulullah menyebutkan yang ke tujuh namun Ibnu Mas’ud tidak mengingat namanya

Ibnu Mas’ud kemudian mengatakan...

قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ الَّذِينَ عَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَرْعَى فِي الْقَلِيبِ قَلِيبِ بَدْرٍ
“Demi Allah yang jiwaku di tanganNya! Sungguh aku telah melihat orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tewas mengenaskan di Al Qalib, yaitu pada perang Badar”.[3]

Selain itu Abu Jahal juga berusaha menghalang-halangi beliau dari melakukan shalat di Masjidil Haram. Suatu ketika, ketika melihat Rasulullah sedang shalat di maqam Ibrahim, Abu Jahal demikian murka. Dengan suara keras dia membentak Rasulullah,

“Wahai Muhammad! Bukankah sudah aku larang engkau melakukan ini?"

“Wahai Muhammad! Dengan apa engkau akan mengancamku?Demi Allah! bukankah sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak pengikutnya di lembah Makkah ini?”

Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya,

فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ (17) سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ
"Maka biarkanlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah."(Al Alaq: 17-18)[4]

Menurut suatu riwayat, Nabi kemudian memegang kerah baju musuh Allah (yaitu Abu Jahal), kemudian berkata kepadanya,

{أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى}
Kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.

Maka musuh Allah alias Abu Jahal menjawab,

أَتُوعِدُنِي يَا مُحَمَّدُ؟ وَاللَّهِ لَا تَسْتَطِيعُ أَنْتَ وَلَا رَبُّكَ شَيْئًا، وَإِنِّي لَأَعَزُّ مَنْ مَشَى بَيْنَ جَبَلَيْهَا.
"Apakah engkau mengancamku, hai Muhammad? Demi Allah, kamu tidak akan mampu dan begitu pula Rabbmu untuk berbuat sesuatu pun terhadap diriku, karena sesungguhnya aku benar-benar orang yang paling perkasa yang menghuni lembah di antara kedua bukit ini." [5]

Diriwayatkan pula oleh Al Imam Muslim dalam Shahihnya,

قَالَ أَبُو جَهْلٍ: هَلْ يُعَفِّرُ مُحَمَّدٌ وَجْهَهُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ قَالَ فَقِيلَ: نَعَمْ، فَقَالَ: وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى لَئِنْ رَأَيْتُهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ لَأَطَأَنَّ عَلَى رَقَبَتِهِ، أَوْ لَأُعَفِّرَنَّ وَجْهَهُ فِي التُّرَابِ، قَالَ: فَأَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي، زَعَمَ لِيَطَأَ عَلَى رَقَبَتِهِ، قَالَ: فَمَا فَجِئَهُمْ مِنْهُ إِلَّا وَهُوَ يَنْكُصُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَيَتَّقِي بِيَدَيْهِ، قَالَ: فَقِيلَ لَهُ: مَا لَكَ؟ فَقَالَ: إِنَّ بَيْنِي وَبَيْنَهُ لَخَنْدَقًا مِنْ نَارٍ وَهَوْلًا وَأَجْنِحَةً، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَوْ دَنَا مِنِّي لَاخْتَطَفَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا»

Abu Jahal berkata, “Apakah kalian sudah melihat Muhammad menggosok-gosokan kepalanya di tanah (maksudnya bersujud –WMB) di tengah-tengah kalian?”

“Iya, dia sedang melakukannya.”

Kata Abu Jahal, “Demi Latta, ‘Uzza, bila aku melihatnya melakukan seperti itu, aku akan menginjak lehernya atau aku akan benamkan wajahnya di tanah.”

Kemudian Abu Jahal pun mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saat beliau tengah shalat. Dia hendak menginjak leher beliau.

Ketika dia mendekati Nabi shallallahu alaihiwa sallam untuk menginjak leher Nabi shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba Abu Jahal mundur dan melindungi diri dengan tangan.

Ada yang bertanya padanya,

“Ada apa denganmu wahai Abu Hakam (panggilan Abu Jahal –WMB)?”

Abu Jahal menjawab, “Sungguh saya melihat di antara aku dan dia ada nyala api (ada sesuatu yang menakutkan) dan banyak sayap.”

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam kemudian mengatakan,

لَوْ دَنَا مِنِّي لَاخْتَطَفَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا

“Kalau dia jadi mendekati aku, maka malaikat akan memotong tubuhnya bagian perbagian...”[6]


Wallahu a’lam bisshawab.


**********

CATATAN KAKI:
[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 108.
[2] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri et al., Al Misbah Al Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, (Riyadh: Darussalam, 2013), hlm. 1588.
[3] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 93-94.
[4] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri et al., Al Misbah Al Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, (Riyadh: Darussalam, 2013), hlm. 1572.
[5] Ibid., 1517
[6] Ibrahim Al ‘Ali, Shahih As Sirah An Nabawiyyah, (Amman: Daarun Nafaais, 2010), hlm. 90-91.