Pembaca yang budiman, pada tulisan yang lalu kita telah paparkan beberapa pelajaran berharga berkenaan dengan turunnya wahyu pertama. Masih ada beberapa hikmah di balik turunnya wahyu pertama yang belum kita ungkap. Di antara hikmah tersebut:
TIDAK MENAMBAH BEBAN ORANG YANG SEDANG DIRUNDUNG MASALAH
Dianjurkan untuk memberikan jalan keluar bagi yang mendapatkan masalah dalam kehidupannya, menyebutkan sebab-sebab yang bisa menyelamatkannya dari masalah itu.
Suatu kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang adalah ketika kawannya datang lalu berkonsultasi tentang masalah yang dihadapinya, dia tidak meringankan masalah tersebut, tetapi justru menambah bebannya. Dia tidak mengetahui dengan baik bahwa sahabatnya itu telah bercerita untuk mencari sebuah solusi, bukan untuk memperbesar masalah.
Perhatikan apa yang disebutkan oleh Khadijah radhiyallahu ‘anha,
وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَكْسِبُ المَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ“Demi Allah, sungguh Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambung tali persaudaraan, suka menolong orang yang membutuhkan, membantu orang miskin, engkau juga suka menjamu tamu, dan membantu orang untuk menunaikan haknya."
Ini dikatakan oleh Khadijah radhiyallahu ‘anha, setelah beliau datang dan menceritakan masalahnya.
Demikian pula disebutkan dalam kisah Nabi Musa alaihissalam dengan seorang lelaki dari penduduk Madyan.[1] Ketika Musa alaihissalaam melarikan diri dari negerinya, dia pun kemudian sampai ke Negeri Madyan. Di sana beliau bertemu seorang lelaki. Musa pun kemudian menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Maka lelaki tersebut pun menghibur Nabi Musa alaihissalaam.
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَKemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan penuh malu. Ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapak wanita tadi dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), lelaki itu berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (Al Qashash: 25)
Artinya hendaknya engkau tenangkan jiwamu dan engkau hapus rasa takutmu karena Allah telah menyelamatkanmu setelah sampai ke tempat ini.[2]
KEUTAMAAN AKHLAQ YANG MULIA
Akhlak yang mulia adalah sarana untuk terhindar dari kejahatan dan malapetaka. Maka barang siapa yang banyak melakukan kebaikan, maka kesudahannya akan berujung pada kebaikan pula dan dia pun akan selamat dunia dan agamanya.
Oleh karena itulah Khadijah radhiyallahu 'anha berkata, “Demi Allah, sungguh Allah tidak akan menghinakanmu selamanya.” Dia bersumpah untuk menenangkan Rasulullah dan menjelaskan alasannya yaitu karena dia menyambung hubungan kekerabatan, membantu orang yang lemah, memberi yang miskin, dan memuliakan tamu. [3]
BOLEHNYA MEMBERIKAN PUJIAN
Kita boleh saja memuji seseorang untuk tujuan kemaslahatan. Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ، فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ"Kalau kamu mendapati orang-orang yang suka memuji, maka tebarkanlah debu pada mukanya.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud oleh hadits ini adalah memuji kebatilan, atau sesuatu yang bisa mengantarkan kepada kebatilan. Selain itu para ulama juga mengatakan bahwa larangan memuji bisa diartikan kepada hal yang berlebihan, atau menambah pujian dari yang sesungguhnya, atau bagi yang ditakutkan ujub apabila dipuji, dan lainnya.
Adapun bagi yang jauh dari sifat itu karena memiliki ketakwaan yang tinggi dan karena akalnya matang dan pengetahuannya tinggi, maka tidak ada larangan untuk memuji di hadapannya selama tidak mengada-ada. Apalagi bila hal tersebut dilakukan justeru kemaslahatan semakin bertambah seperti semakin giat dalam kebaikan, dan semakin bertambah, atau bisa lebih komitmen dan menjadi panutan bagi yang lain, maka hukumnya malah mustahab (disukai).
Adapun bagi yang jauh dari sifat itu karena memiliki ketakwaan yang tinggi dan karena akalnya matang dan pengetahuannya tinggi, maka tidak ada larangan untuk memuji di hadapannya selama tidak mengada-ada. Apalagi bila hal tersebut dilakukan justeru kemaslahatan semakin bertambah seperti semakin giat dalam kebaikan, dan semakin bertambah, atau bisa lebih komitmen dan menjadi panutan bagi yang lain, maka hukumnya malah mustahab (disukai).
Asy Syaikh Zaid Abdul Karim Zaid menyebutkan,
“Kita melihat bagaimana para pemilik ide dan pemikiran yang sama saling memuji dan saling memberikan motivasi di koran-koran atau di media-media. Oleh karena itu, kenapa seorang muslim ragu-ragu dalam memberikan dorongan kepada saudaranya agar semangatnya semakin terpacu. Dia puji kelebihannya agar saudaranya tadi semakin berpacu dalam bekerja, dan juga untuk memotivasi yang lain untuk mengikuti jejaknya.”[4]
PARA DAI AKAN MEMILIKI MUSUH
Di dalam hadits disebutkan bahwa Waraqah bin Naufal berkata,
لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ“Tidaklah seorang pun yang mendapatkan wahyu sepertimu kecuali dia akan disakiti.”
Dari sini kita bisa simpulkan bahwa seorang da'i yang mengajak manusia kepada Allah ta'ala pasti akan menghadapi musuh ketika melakukan dakwah. Cobalah perhatikan perkataannya, "Tidak ada seorang pun...” ini menunjukkan bahwa seorang da'i pasti menghadapi musuh pada perjalanan dakwahnya.
Allah ta'ala berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا“Dan demikianlah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi musuh dari orang- orang berdosa. dan cukuplah Rabbmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (Al Furqan: 31)[5]
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan,
“Seperti yang terjadi pada dirimu, hai Muhammad. Engkau mendapat gangguan dari kaummu, yaitu orang-orang yang mengabaikan Al Qur'an. Hal yang sama telah terjadi pula di kalangan umat-umat terdahulu. Karena Allah menjadikan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari kalangan orang-orang yang berdosa yang menyeru manusia kepada kesesatan dan kekafiran mereka.
Makna ayat ini sama dengan apa yang disebut dalam ayat lain melalui firman-Nya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin.” (Al An'am: 112)
Karena itulah dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya,
وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا“Dan cukuplah Rabbmu menjadi pemberi petunjuk dan Penolong.” (Al Furqan: 31)
Yaitu bagi orang yang mengikuti Rasul-Nya, beriman kepada Kitab-Nya, membenarkannya dan mengikuti petunjuknya. Sesungguhnya Allah akan memberinya petunjuk dan menolongnya di dunia dan di akhirat. [6]
Wallahu a’lam bisshawab.
**********
CATATAN KAKI:
[1] Para ulama berbeda pendapat tentang siapa laki-laki ini. Mayoritas ulama mengatakan bahwa dia adalah Nabi Syu’aib ‘alaihissalaam. Sebagiannya lagi mengatakan bukan. Lihat tafsir Ibnu Katsir terhadap ayat yang kami sebutkan.
[2] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 128.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm. 129.
[5] Ibid., hlm. 130
[6]Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri et al., Al Misbah Al Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, (Riyadh: Darussalam, 2013), hlm. 998.