#20 | BERKHALWAT DALAM GUA HIRA

Share

Pembaca yang budiman, ketika usia Rasulullah mendekati empat puluh tahun setelah melalui perenungan yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran beliau dan kaumnya, beliau suka mengasingkan diri. Beliau membawa roti dan bekal air ke gua Hira yang terletak di Jabal (bukit) Nur, yaitu jaraknya hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua yang kecil, panjangnya empat hasta, lebarnya 1,75 hasta. Beliau tinggal di sana di bulan Ramadhan, menghabiskan waktunya untuk beribadah dan berpikir tentang fenomena alam di sekitarnya dan kekuasaan yang telah menciptakannya. Beliau tidak tenang dengan keadaan kaumnya yang masih menganut aqidah syirik yang kacau dan cara pandang yang rapuh. Akan tetapi ketika itu beliau sendiri tidak memiliki metodologi berpikir yang jelas, belum tampak bagi beliau petunjuk yang terarah yang membuatnya tenang dan ridha. [1]

Istri beliau, Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menyebutkan kebiasaan Rasulullah sebelum beliau diangkat menjadi Nabi,

وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyendiri di gua Hira. Beliau melakukan Tahannuts di dalamnya.” (HR. Al Bukhari)

Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa tahannuts memiliki dua makna:

Pertama, tahannuts artinya tahannuf. Artinya mengikuti ajaran hanifiyah. Itulah ajaran dan millah Ibrahim.

Kedua, tahannuts artinya menjauhi dosa. Dari kata al hints yang artinya dosa. Dan kata ‘tahannuts’ memiliki arti ‘yatajannabu al hints’, yang artinya menjauhi dosa. [2]

Kebiasaan berkhalwat yang begitu digemari Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wasallam ini tentu memiliki hikmah yang luar biasa besar. Kebiasaan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wasallam ini menjadi begitu penting bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya bagi para penyeru ke jalan Allah subhanahu wata’ala.

Salah satu hikmah terbesar dari khalwat adalah menghilangkan penyakit yang tidak dapat diobati selain dengan uzlah (menyendiri) dari khalayak ramai. Merenungi diri sendiri dengan menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia dan segala gemerlapnya. Kesombongan, ujub, dengki, riya, dan cinta dunia adalah penyakit yang merasuki jiwa, kemudian bercokol di kedalaman hati, menghancurkan dan batin manusia walau secara lahiriah seseorang terlihat banyak melakukan amal shalih dan ibadah, bahkan giat berdakwah mengajak pada kebaikan dan banyak memberikan nasihat kepada orang lain. Penyakit batin seperti itu tidak dapat diobati, selain dengan menyendiri beberapa saat untuk memikirkan hakikat dirinya, memikirkan tentang Penciptanya, serta kebutuhan terhadap pertolongan dan taufik dari Allah subhanahu wata’ala[3]

Dengan uzlah juga seseorang bisa merenungkan kelemahan manusia di hadapan Zat Yang Maha Pencipta, dan betapa tidak bermanfaatnya pujian dan celaan mereka. Selain itu, merenungi keagungan Allah, hari akhir, hari perhitungan amal, kebesaran rahmat Allah, dan beratnya siksa yang Allah timpakan kepada para pendosa. Dengan melakukan renungan panjang seperti itu, semua penyakit hati akan hilang satu-persatu. Hati akan kembali hidup di bawah naungan cahaya ilmu dan kejernihan hati. Cermin orang orang yang tidak dimabuk kehidupan dunia pasti tidak pernah kotor. [4]

Hal lain yang tidak kalah penting bagi kehidupan kaum muslimin, khususnya para dai, ialah merawat cinta kepada Allah di dalam hati. Hati adalah mata air bagi sifat luhur, seperti pengorbanan dan jihad. Hati juga landasan bagi setiap gerakan dakwah yang benar. Cinta kepada Allah subhanahu wata’ala. tidak datang hanya dengan keimanan rasional, karena rasio semata tak akan memengaruhi rasa dan gerak hati. Jika benar rasio dapat langsung mempengaruhi iman dalam hati, pastilah para orientalis menjadi orang-orang terdepan dalam hal beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Hati mereka pasti akan menjadi hati yang terkuat dalam mencintai Allah dan Rasul-NyaNamun pernahkah Anda mendengar keimanan seorang ilmuwan semakin bersinar lantaran berhasil memecahkan sebuah rumus matematika atau menjawab soal aljabar?[5]

Setelah iman, jalan menuju kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala. adalah perenungan terhadap berbagai nikmat Allah, menghayati keagungan dan kebesaran-Nya, dan memperbanyak zikir, baik dengan hati maupun lisan. Semua itu akan menjadi sempurna jika dilakukan dengan beruzlah atau berkhalwat, yaitu dengan beberapa saat dengan melakukan menjauhi segala kesibukan dan gemerlap kehidupan dunia. Kalau saja perenungan seperti itu benar-benar dilakukan seorang muslim, niscaya kecintaan yang mendalam terhadap Allah subhanahu wata’ala. akan bersemi dalam hatinya. Kecintaan itu akan membuatnya melihat persoalan besar sebagai hal kecil, juga tidak mengindahkan hal hal yang memalingkan hatinya dari Allah subhanahu wata’ala. Selain itu, siksaan sesama manusia dianggapnya tidak seberapa, apalagi sekadar penghinaan dan cercaan. Sifat luhur seperti inilah yang seharusnya dimiliki setiap dai yang menyeru manusia ke jalan Allah subhanahu wata’ala. Sifat luhur seperti inilah yang dahulu Allah anugerahkan kepada Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wasallam selaku pemimpin dakwah Islam. [6]

Namun, perlu diingat, yang dimaksud dengan "khalwat" di sini sama sekali bukanlah seperti yang dimaksud orang-orang yang menyimpang, yaitu meninggalkan semua yang berbau kehidupan dunia, seperti memilih tinggal di gua, di hutan, atau gunung-gunung. Sikap menjauhi kehidupan dunia seperti itu jelas bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan teladan para sahabatCinta khalwat sebenarnya dimaksudkan untuk menjadi "perenungan" sebagai obat berbagai kerusakan batin. Sebagaimana yang kita ketahui, obat hanya boleh dikonsumsi sesuai dosis. Jika berlebihan, ia akan berubah menjadi racun bagi tubuh. [7]

Demikian juga khalwat di dalam gua ini dilakukan oleh Rasulullah sebelum diangkat menjadi Nabi. Adapun setelah beliau diangkat menjadi Nabi, maka berubahlah format khalwat tersebut menjadi ibadah shalat tahajjud, menghidupkan malam dengan shalat di saat kebanyakan manusia tertidur.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4) إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا (5) إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6)
“Hai orang yang berselimut, bangunlah untuk salat di malam hari, kecuali sedikit (darinya). Yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih khusyuk dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (Al Muzammil: 1-6)

Demikian juga beliau bersabda,
ينزل رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaaraka wa ta'ala turun pada setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, 'Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan. Siapa yang minta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni." (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Awalnya, berkhalwat dengan tahajjud ini adalah kewajiban bagi Rasulullah dan ummatnya. Akan tetapi kemudian hukumnya menjadi mustahab bagi kaum muslimin, namun tetap wajib bagi Rasulullah sampai beliau meninggal.[8]

Wallahu a’lam bisshawab.

**********


CATATAN KAKI

[1] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Riyadh: Dar Ibnil Jauzi, 1435 H), hlm. 84.
[2] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H), Jil. 1, hlm. 23
[3] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Fiqhus Sirah An Nabawiyah, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hlm. 92.
[4] Ibid., hlm. 93.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 94.
[7] Ibid., hlm. 95
[8] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 119-120.