#14 | MASA REMAJA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM #1

Share

Pembaca yang budiman. Dari paparan sebelumnya kita telah jelaskan bahwa Rasulullah terlahir dalam keadaan yatim. Tapi Allah subhanahu wata’ala telah memberikan perlindungan kepada beliau. Perlindungan yang Allah berikan ini disebutkan di dalam Al Qur’an surat Ad-Dhuha ayat ke 6.
Allah berfirman,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى
“Bukanlah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.” (Adh Dhuha: 6)

Disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah,
“Demikian itu karena ayah beliau wafat sejak beliau masih berada dalam kandungan ibunya. Menurut pendapat yang lain, ayah beliau wafat ketika beliau baru dilahirkan. Kemudian ibu beliau wafat pula saat beliau berusia enam tahun. Sesudah itu beliau berada dalam pemeliharaan kakeknya, Abdul Mutthalib hingga kakeknya wafat saat beliau masih berusia delapan tahun.

Kemudian beliau dipelihara oleh pamannya yang bernama Abu Thalib, yang terus-menerus melindungi, menolong, meninggikan kedudukan, dan mengagungkannya serta membentenginya dari gangguan kaumnya sesudah Allah mengangkatnya menjadi seorang rasul dalam usia empat puluh tahun. Abu Thalib adalah pengikut agama kaumnya yang menyembah berhala-berhala, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah sampai terpengaruh. Hal ini tiada lain merupakan ketentuan Allah dan pengaturan-Nya yang baik.

Ketika Abu Thalib meninggal dunia, tak lama sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah, kaum musyrikin Quraisy pun mulai berani mengganggunya. Allah ta’ala kemudian memudahkan bagi beliau untuk hijrah ke negerinya kaum Aus dan Khazraj (kota Madinah). Ketika beliau sampai di negeri mereka, maka mereka memberinya tempat, menolongnya, melindunginya, dan membelanya dengan jiwa dan harta mereka. Ini semua itu merupakan bentuk pemeliharaan dan penjagaan serta perhatian dari Allah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam." [1]


DI BAWAH ASUHAN SANG PAMAN

Abu Thalib melaksanakan amanah yang diembankan kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab seperti dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Abu Thalib bahkan mendahulukan kepentingan Rasulullah di atas kepentingan mereka. Dia juga, mengistimewakannya dengan penghargaan yang begitu berlebihan.

Penjagaan tersebut terus berlanjut hingga beliau shallallahu 'alaihi wasallam berusia empat puluh tahun; pamannya masih tetap memuliakan beliau, memberikan penjagaan kepadanya. Dia menjalin persahabatan dan juga mengobarkan permusuhan dalam rangka membelanya. Dan ini nanti akan kita paparkan dengan lebih mendetail pada tempatnya.[2]


MENGGEMBALA KAMBING

Di masa itu Rasulullah bekerja menggembalakan kambing. Disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ . فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ
“Tidaklah Allah mengutus nabi kecuali kecuali ia pernah menjadi penggembala kambing.” Mereka para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Iya, saya juga menggembala kambing dengan imbalan beberapa qirath (sejumlah dinar) dari penduduk Mekah.”

Para ulama menyebutkan bahwa ada hikmah yang besar di balik kenapa Allah takdirkan para nabinya sebagai penggembala kambing. Di antara hikmah tersebut:
  1. Sebagai bentuk latihan bagi mereka, yaitu agar mereka terbiasa mengatur urusan kambing gembalaan sebelum nantinya mengatur urusan-urusan umatnya yang tentu lebih kompleks. Kalau mereka langsung diberi tanggung jawab untuk mengatur umat, maka tentu mereka akan mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu lagi untuk beradaptasi.
  2. Menanamkan kesabaran kepada diri para nabi. Menggembala kambing bukanlah perkara yang mudah. Seorang penggembala harus bisa menyatukan kambing-kambing yang seringkali susah diatur. Demikian juga dia harus bisa membawa rombongan kambing yang kadang mau semaunya sendiri itu dari satu lading rumput ke ladang rumput lainnya. Seorang penggembala juga harus mengawasi kambing-kambing tersebut agar tidak dicuri atau diterkam oleh hewan buas. Ini semua tentunya membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Kalau dia terbiasa telaten dan sabar mengatur kambing-kambing ini, maka akan lebih mudah baginya untuk menghadapi umatnya kelak. [3]


Kenapa Kambing? Bukan Sapi atau Unta?

Pertanyaan ini juga telah dijawab oleh para ulama. Kalau kita melihat karakteristik hewan-hewan ternak ini, maka kita akan melihat perbedaan yang cukup mencolok. Unta dan sapi mereka condong lebih mudah diatur. Bila berada di lapangan rumput, mereka lebih suka berkumpul di suatu tempat. Adapun kambing, maka hewan satu ini lebih sulit diatur. Ketika dilepaskan di lapangan rumput, mereka akan berpencar-pencar sesuka hati, sehingga membutuhkan pengawasan yang lebih ekstra dibandingkan dengan sapi dan atau unta.

Selain itu tentu gengsi pengembala unta atau sapi dengan penggembala kambing berbeda. Seseorang bisa saja bangga dengan profesinya menggembalakan unta yang gagah atau sapi yang ukuran badannya besar. Tapi menggembala kambing, apa yang bisa dibanggakan dengan menggembalakan hewan yang satu ini. Menggembala kambing akan mengajarkan akhlak yang rendah hati, ketawadhu’an bagi diri para nabi. Menjauhkan mereka dari sikap sombong dan takabbur. [4]


BERTEMU SANG RAHIB YANG BERNAMA BUHAIRA

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berusia sekitar dua belas tahun paman beliau, Abu Thalib membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah negeri Syam dan merupakan bagian dari kota Hauraan.[5]

Ketika itu juga, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih dibawah kontrol kekaisaran Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib yang bernama Buhaira yang nama aslinya adalah adalah Jirjis.[6]

Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak pernah dia lakukan hal itu, kemudian menghampiri mereka satu-persatu hingga sampai kepada Rasulullah. Buhaira lalu memegang tangannya sembari berkata,

هذا سيد العالمين، هذا يبعثه الله رحمة للعالمين
"Inilah penghulu para makhluk, inilah Rasul Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta ini".

Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy bertanya kepadanya, "Bagaimana engkau mengetahui hal ini?"

Dia menjawab, “Sesungguhnya ketika kalian mendaki perbukitan, tidak satupun dari bebatuan ataupun pohon melainkan bersujud terhadapnya, dan kedua makhluk itu tidak akan bersujud kecuali terhadap Nabi. Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya melalui tanda kenabian yang terletak pada bagian bawah tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel. Sesungguhnya kami mengetahui beritanya dari kitab suci kami.”

Kemudian barulah sang Rahib mempersilahkan mereka dan menjamu mereka. Buhaira lalu meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan keponakannya tersebut ke Makkah dan tidak lagi membawanya serta ke Syam sebab khawatir bila sampai ketahuai oleh Yahudi, nanti mereka akan mencelakakannya. Akhirnya, pamannya mengirimnya pulang bersama sebagian anak-anaknya ke Makkah.[7]

(Bersambung)

*********


CATATAN KAKI:
[1] Lihat Tafsir Al Qur’anul Azhim oleh Ibnu Katsir pada tafsir Surat Adh Dhuha, ayat ke-6.
[2] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Beirut: Darul Hilal, t.t.) hlm. 48.
[3] Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, )Beirut: Darul Ma’rifah, 1379) juz 4 hlm. 441.
[4] Ibid.
[5] Bushra ini sendiri sekarang terletak di sekitar 135 km arah tenggara kota Damaskus, Suriah. Pen.
[6] Kaum Kristen Arab menyebutnya sebagai Sargis-Bahira. Lihat The Christian Legend of Monk Bahira, DR. Abjar Bakhu.


[7] Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, (Beirut: Darul Hilal, t.t.) hlm. 49.